Terik matahari yang panas membakar kulitnya. Wanita muda itu mengusap peluh yang menetes di wajahnya sembari terus berjalan, tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktu yang ia miliki untuk beristirahat walau terlihat jelas ia sudah kelelahan.
Langkah demi langkah tetap ia jalani meski kakinya sudah lecet dan kulitnya mulai mengelupas. Apa boleh buat, masih ada banyak kain yang harus ia jual, hanya demi sesuap nasi untuk hari ini.
***
Namanya Ketut Suryani. Ia hanyalah gadis desa kelahiran tahun 1916 yang hidupnya bisa dibilang pas-pasan. Namun kehidupan yang masih cukup layak itu harus berhenti pada saat kedua orangtuanya meninggal.
Di usianya yang masih 6 tahun, sebagai anak bungsu Suryani terpaksa tinggal berpindah-pindah di rumah kakak-kakaknya yang sudah dewasa. Tak ada pilihan lain, ia tak punya keluarga lain yang bisa menampungnya dan para kakaknya pun tidak bisa menghidupinya untuk waktu yang lama di saat hidup mereka sendiri juga susah, mengingat pada tahun itu Indonesia masih menyandang status daerah yang dijajah.
Tak mau merepotkan kakaknya, Suryani melakukan apapun yang ia bisa untuk membantu meringankan pekerjaan rumah tangga mereka. Mulai dari menyapu, mencuci baju, bahkan hingga merawat keponakannya yang masih kecil, semua ia lakukan tanpa mengeluh. Namun, ia tak bisa terus begini.
Ia tak mau harus selalu bergantung pada kakak-kakaknya sampai entah kapan dan terlebih, Suryani benci hidup dengan belas kasihan orang lain seolah ia adalah manusia yang tak berdaya. Karena itu, ia memutuskan untuk mencari cara agar bisa bertahan hidup dengan kekuatannya sendiri.
Di usianya yang masih belia, ditambah dengan statusnya sebagai perempuan, tak banyak yang bisa dilakukan Suryani pada saat itu. Jadi, ia mempelajari berbagai keterampilan tangan yang biasa dilakukan perempuan seperti menjahit, menyulam, dan merajut. Setelahnya, hasil kerajinan yang telah ia buat akan ia jual.
Namun, itu masih tak cukup bagi Suryani. Baginya, selama masih ada hal yang masih bisa ia pelajari dan hal tersebut dapat berguna bagi hidupnya, ia pasti akan mempelajarinya, bahkan jika hal tersebut masih dianggap tak umum pada jamannya. Salah satunya adalah membaca.
***
“Ketut, cepat tidur!” seru kakak keduanya, Made. Di antara saudara-saudaranya yang lain, Suryani paling lama tinggal di rumahnya. Tapi sepertinya sampai kapanpun wanita itu takkan pernah terbiasa melihat cahaya lampu tempel yang mengintip dari celah pintu kamar adik kedelapannya hingga larut malam.
“Iya Mbok, sebentar!”
Tanpa basa-basi, Made segera membuka pintu kamar adiknya itu. Suryani yang tak mengira kakaknya akan masuk sontak buru-buru merapikan bukunya. Namun hal tersebut tak luput dari pandangan Made.
“…kau masih belajar membaca?” Wanita itu mengernyitkan dahinya.
Sadar bahwa takkan ada alasan yang bisa mengecoh kakaknya, Suryani hanya bisa mengangguk.
Made menghela napas kasar. “Sudah kubilang, kan? Kau itu perempuan, nggak perlu bisa baca atau apapun itu. Cukup ngurus rumah aja.”
“Tapi kalau aku bisa baca kan lebih banyak yang bisa kupelajari,” ujar Suryani.
“Ngapain? Memangnya kamu bisa jadi apa?” sindir Made. “Nggak usah gaya-gaya belajar baca tulis, toh kau cuma perempuan. Mending sekarang kau tidur, sudah malam. Mbok nggak suka liat kamu begadang terus.”
Setelah mengatakan itu, Made langsung keluar dari kamar Suryani. Ia tak habis pikir, mengapa adiknya itu begitu terobsesi dengan buku. Padahal itu takkan terlalu berpengaruh pada masa depannya, pikir Made.