Ni Ketut Suryani, Wanita Perkasa dari Bali

Wanita itu berharap adiknya akan berhenti menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak berguna seperti belajar baca tulis. Persis yang dikatakannya tadi, Suryani hanyalah seorang perempuan.

Memangnya dengan belajar baca tulis nasibnya akan berubah?
Di sisi lain, Suryani mematikan lampu tempel di kamarnya dan membungkus dirinya dalam selimut. Ia berusaha untuk tidur, namun berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Kata- kata Made tadi terus terngiang dalam benaknya.

Suryani sudah sering menerima tawa dan cemooh dari orang-orang yang mendengar dirinya belajar membaca. Memang, pada jaman itu boro-boro bisa baca tulis, perempuan yang belajar baca tulis sudah dianggap aneh oleh masyarakat.

Laki-laki yang dianggap lebih superior saja masih banyak yang buta huruf. Untuk apa perempuan yang jelas-jelas lebih rendah mau berusaha ‘menyaingi’ laki-laki?

Hati Suryani berkecamuk saat mendengar cemoohan itu. Ia bisa merasakan rasa kesal terhadap orang-orang yang mengejeknya. Tapi bukan berarti hal tersebut menyurutkan niatnya untuk belajar.

Ia justru semakin bertekad untuk membuktikan pada orang-orang bahwa ia juga bisa melakukan hal-hal yang pada saat itu hanya ‘eksklusif’ untuk kaum pria. Hinaan yang menerpa justru malah menjadi bahan bakar yang membangkitkan semangatnya.
Ya, Suryani memang perempuan yang aneh. Setidaknya pada era itu.

***

Tahun demi tahun berlalu, Suryani kini sudah menikah dan tidak lagi tinggal di rumah kakak- kakaknya. Dari uang hasil menjual kerajinan tangan yang ia buat serta modal berupa kebun

kopi kecil yang dimiliki suaminya, mereka bersama-sama merintis karir sebagai pedagang. Tentu saja, dengan modal yang terbatas itu tak banyak stok barang yang bisa mereka beli. Untuk membuka toko saja mereka tidak mampu. Karena itu, Suryani harus berjalan kaki dari desa ke desa, menjajakan kain batik dan kain kebaya serta hasil bumi sementara suaminya mengurus kebun kopi.

- Iklan -

Tentu saja pekerjaan mereka tak berjalan mulus. Kadang sedikit yang membeli dagangannya, bahkan pernah ada hari di mana tak ada seorang pun yang mau membeli dagangannya.

Untung saja, pasangan tersebut selalu bersikap baik terhadap orang lain. Berkat itu, nasib beruntung tampaknya selalu menyertai mereka. Hari itu, kenalan mereka dari desa tetangga memberi beras untuk makan sehingga mereka tak perlu menahan lapar hingga keesokan harinya.

Beberapa tahun kemudian, bisnis Suryani membaik. Ia pun membeli sepeda untuk berjualan. Tentu saja ini termasuk pemandangan yang aneh dan langka pada jaman itu. Saat itu masih sangat sedikit orang yang bisa memiliki dan mengendarai sepeda, apalagi perempuan.

Mungkin jumlahnya bisa dihitung jari, saking sedikitnya perempuan yang mau mencoba mengendarai sepeda. Bahkan, membayangkannya saja terasa mustahil bagi masyarakat kala itu, termasuk suami Suryani.

“Kamu yakin? Hati-hati, lho. Nanti kalau jatuh gimana?” kata pria itu khawatir. Wajar, saat itu pakaian tradisional yang dikenakan sehari-hari oleh para wanita adalah kebaya dengan bawahan kain batik, yang biasa disebut sewek atau jarik, dan itu menyebabkan gerak mereka kurang leluasa.

Sayangnya, Suryani bukan perempuan yang umum.
“Iyaa,” sahut Suryani kesal. “Jatuh ya jatuh aja, paling cuma lecet dikit.”

Suaminya itu memang sering terlalu khawatir. Mungkin itu efek samping memiliki istri yang tak biasa. Apa boleh buat, Suryani bisa dibilang terlalu perkasa, untuk ukuran wanita yang ikut bekerja sebagai tulang punggung keluarga sekalipun.

Ia bahkan nekat melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan pria, seperti memanjat pohon dan semacamnya.
“Aku berangkat, ya.” Wanita itu mengayuh sepedanya, meninggalkan kebun kopi.

Di tengah jalan, tentu saja Suryani bertemu dengan para penduduk desa. Dan tentu saja hinaan yang mereka lontarkan sudah jadi makanan sehari-hari bagi wanita itu.
“Cewek kok naik sepeda sih, dasar aneh!” “Hahaha! Awas seweknya nyangkut!”

Tentu saja Suryani tak mengacuhkan omongan mereka. Tak ada gunanya. Lagipula mereka juga tak pernah membantunya, hanya bisa omong kosong saja. Maka ia pun tetap bekerja seperti biasa, berkeliling dari satu desa ke desa lain untuk menjual dagangannya.
Bertahun-tahun, ia giat bekerja tanpa mengeluh.

Didukung bakat dagangnya, usaha Suryani pun makin lama makin berkembang. Dari yang tidak punya apa-apa menjadi nyonya tanah yang menguasai sekian hektar lahan perkebunan di desanya.

Cara berpikirnya yang lebih maju boleh jadi penyebab ia dianggap aneh oleh orang-orang sekitarnya, namun itu juga yang membawanya menuju kesuksesan. Berkat itu, ia bisa hidup makmur hingga ajal menjemput.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU