Malam itu, dengan balutan busana putih dan penutup kepala berwarna senada, aku merasakan tubuhku melayang, begitu ringan bagai kapas, di sebuah tempat yang sekelilingnya berwarna putih, ya hanya warna putih, tanpa dasar, tanpa atap dan tanpa ujung.
Aku tak bisa melihat apa-apa selain sebuah cahaya. Semakin aku mendekatinya, cahaya itu semakin menyilaukan mataku, aku berusaha menembus cahaya itu. Setelah merasa berhasil, perlahan aku membuka kedua kelopak mataku.
Aku sudah tidak berada di tempat yang semuanya putih tadi. Saat ini aku berada di suatu tempat yang luas dan begitu indah. Tempat apa ini? Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Suasananya sangat sejuk, damai dan indah.
Bunga-bunga bermekaran indah dan penuh warna. Sungguh tempat yang indah. Tidak jauh dari sini, aku melihat seorang laki-laki duduk di kursi panjang dengan tatapan lurus kedepan, aku mulai melangkahkan kaki mendekatinya.
Laki-laki itu tersenyum padaku. Dia mulai menggeser duduknya seolah mempersilahkanku untuk duduk di sampingnya.
Kami memandangi hamparan danau yang begitu luas dengan air yang tenang, sesekali ku melirik ke arah laki-laki itu, aku melihatnya sedang tersenyum.
Dia Ambo(1), iya, aku yakin dia Ambo! Tapi kenapa Ambo bisa ada di tempat seperti ini? Bukankah dia sedang ada dirumah sakit? Apa mungkin Ambo sudah pulang dan sedang berjalan-jalan ke tempat ini.
“Aja’ muangoai onrong nak, aja to muacinnai tanre tudangeng nasaba detumullei padecengi tana, risappapo muompo, rijello’po muakkengau.”2
Kalimat itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Ambo, tapi apa makna dari kalimat itu? Ini untuk pertama kali aku mendengarnya. Sebelumya Ambo tidak pernah mengucapkan kalimat seperti ini, Ambo berjalan mendekati danau, sepertinya dia sedang menikmati semilir angin. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kalimat itu memenuhi kepalaku. Di tengah memikirkan semua itu, Ambo mengagetkanku dengan pertanyaannya.
“Kenapa kamu bisa ada di tempat seperti ini nak? Apa kamu suka dengan tempat ini?” Tanyanya padaku.
“Iya, Ambo. Tempat ini begitu indah dan nyaman,” balasku.
“Kembalilah nak, belum saatnya kamu berada di tempat seperti ini!” Ucapnya padaku.
“Kenapa aku harus kembali? Aku masih ingin disini Ambo. Dan apa maksud Ambo dengan kalimat tadi?” Tanyaku.
Pertanyaanku ini hanya dibalas dengan senyum manis Ambo, tanpa menjawabnya Ambo perlahan pergi meninggalkanku sendirian.
“Tunggu aku Ambo, kumohon aku masih ingin disini.” Teriakku namun Ambo tetap melangkah menjauh.
Setelah Ambo menghilang, cahaya itu datang lagi. Cahaya itu benar-benar menyilaukan mataku, hingga aku harus menutup kedua mataku, tetapi dengan perlahan kubuka kedua bola mataku. Aneh, aku sudah tidak berada di tempat yang indah dan nyaman itu. Aku baru sadar ternyata semua itu hanya sebuah mimpi. Sepersekian detik, masih samar ku ingat mimpi tadi, selebihnya aku dikagetkan oleh kenyataan bahwa aku berada di rumah sakit saat ini. Teringat Ambo, aku segera beranjak, menoleh ke ranjang yang dibungkus sprei putih.
“Ambo.” Kusebut namanya pelan. Oh Tuhan, pemandangan ini begitu memilukan. Ambo yang sedang sekarat, mencoba mengucapkan kalimat syahadat yang dibimbing oleh Indo (3). Masih setengah sadar, aku segera menghampiri Ambo, bergabung bersama keluarga yang sedari tadi mengelilingi ranjang Ambo dengan penuh cemas, sesenggukan tangis, dan tak dipungkiri juga ada secercah harapan yang diam-diam terselip dalam hati dan doa.
Sebuah “bip” panjang terdengar, bersamaan hembusan nafas terakhir Ambo.
“Tuhan, Ambo…?” Aku menggumam dalam hati.
Aku melirik Indo di sebelahku yang sudah sedari tadi terisak menangis. Sementara aku, air mataku tanpa tertahan terjatuh mendahuluiku yang masih kebingungan. Kulihat sekelilingku, semua keluarga- ku saling berpelukan, saling menghibur satu sama lain.
Sementara dokter dan suster di ruangan menutupi raga Ambo dengan kain putih setelah mendapat anggukan setuju dari Indo. Aku terdiam beku saat melihat wajah Ambo perlahan ditutup kain putih. Sementara Indo meraih tubuhku untuk dipeluknya. Aku bermaksud menghibur Indo tapi bibirku tak tau harus berucap apa, lidahku kelu, hanya air mataku yang terus jatuh, menggambarkan rapuhnya hatiku saat ini telah ditinggal Ambo.
Ambo, tiba-tiba aku teringat dengan kalimatnya di mimpiku, “Aja’ muangoai onrong nak’, aja to muacinnai tanre tudangeng nasaba detumullei padecen- gi tana, risappapo muompo, rijello’po muakkengau.” Apa dari kalimat yang Ambo ucapkan itu memiliki maksud tersembunyi?
“Kembalilah nak, belum saatnya kamu berada di tempat seperti ini!” Ucapan ini juga teringat dalam
pikiranku, oh Tuhan inikah jawabannya kenapa Ambo menyuruhku kembali dan belum saatnya untuk berada di tempat yang sungguh indah dan nyaman itu? Ternyata Ambo sedang menuju ke surga-Mu.
Aku mencoba untuk bisa menggapainya, namun nyatanya takkan pernah bisa. Tidak akan ada lagi waktu di mana aku bisa berada dalam dekapan erat tubuhnya dan bersandar di dadanya sambil mendengar suara seraknya kala bercerita, tubuhnya yang memang sudah tidak muda lagi membuatku begitu merindukan cara berjalannya yang pelan. Tuhan… kumohon jaga dia. Saat ini matanya terpejam untuk selamanya, dan aku tidak mungkin bisa bertemu dengannya lagi.
***
Usai doa dipanjatkan, satu persatu kerabat pergi meninggalkan makam. Beberapa di antara mereka menyempatkan diri menghibur Indo dan keluarga yang lainnya. Saat Indo dan keluarga hendak pulang, aku meminta izin untuk tinggal sebentar lagi. Indo hanya tersenyum samar membolehkan.
“Ambo, lihatlah. Sore ini sangat indah dan seha- rusnya menjadi salah satu sore yang kusuka. Tetapi, karena kepergianmu, aku jadi bingung apa aku harus membencinya.” Gumamku sendiri.
Rumput bergerak melambai tanpa beban. Menari indah, mengikuti arah angin membawanya. Sinar cahaya senja memantulkan bayangan gerakan re- rumputan itu, seolah ikut serta mempersembahkan pertunjukan. Aku tersenyum getir menatap sepaket keindahan itu. Aku tak pernah menyangka kalimat yang diucapkan Ambo di mimpi itu memiliki makna yang dalam. Kalimat yang kutahu adalah sebuah Pappaseng4.
“Aja’ muangoai onrong nak’, aja to muacinnai tanre tudangeng nasaba detumullei padecengi tana, risappapo muompo, rijello’po muakkengau.”
Aku mendongak, menatap langit jingga seolah ada Ambo di sana. Ambo, aku sudah tahu makna dari kalimat Ambo itu, pappaseng ini akan aku laku- kan di kehidupanku ini. Aku tahu Ambo memberikan- ku pappaseng ini, karena Ambo tidak menginginkan aku melangkah ke jalan yang tidak lurus, Ambo juga tidak pernah meninggalkanku sendirian di sini. Raga Ambo memang sudah pergi, tetapi jiwa Ambo akan selalu menemaniku di setiap langkahku.
Kuusap pelan batu nisan Ambo yang masih terlihat bersih ini, gundukan tanah coklatnya masih terlihat basah. Aku memandang langit yang terbentang luas, dengan hiasan-hiasan awan yang indah, kulihat Ambo tersenyum tulus kepadaku. Aku akan merindukanmu Ambo. Semoga kau tenang disana.
Kemudian aku beranjak meninggalkan gundukan tanah coklat dan batu nisan itu.
Catatan Kaki
*1 : Bapak ; *2. Artinya : janganlah menyerakahi kedudukan, jangan pula terlalu menginginkan jabatan tinggi, karena engkau tak sanggup memperbaiki Negara. Kalau dicari baru akan muncul. Kalau di tunjuk baru engkau mengaku. Kalimat ini punya maksud bila pada Hakikatnya, semua mencita-citakan kedudu- kan atau jabatan tinggi, tetapi takdir dan kesempatan membawanya ke arah lain. Akan tetapi manakala keserakahan menjadi tumpuan untuk menggapai cita-cita, maka dalam perjalanan menuju cita-cita unsur moral akan dikesampingkan, bahkan fatal bila ditunjang oleh kekuasaan. Sebaliknya seseorang yang beri- tikad baik pada umumnya mempunyai harga diri sehingga malu akan mengemis jabatan dan bila diberikan amanah akan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. ; *3. Ibu ; *4. Pesan
Penulis: Andi Tenri Esa
Hallo sobat, buat kamu yang punya karya keren dan smart seperti puisi, cerita mini (cermin), cerita pendek (cerpen) maupun artikel, kirim ke email: fponlinemedia@gmail.com atau ke redaksi FAJAR PENDIDIKAN, gedung Graha Pena Makassar lt 4, Jl Urip Sumoharjo No. 20 Makassar