FAJARPENDIDIKAN.co.id-Truk yang kubawa, terbilang besar, dengan sepuluh roda. Bermuatan kelapa sawit. Pada hari itu, penuh sesak. Sampai ada yang tercecer, berhamburan, jatuh dari truk.
Jarak perkebunan kelapa sawit, dengan pabrik pengolahan, tidak terlalu jauh. Pada saat panen, hampir setiap dua hari, saya mengantar kelapa sawit ke pabrik.
Meskipun jarak antara perkebunan dan pabrik pengolahan tidak terlalu jauh, dan hampir setiap dua hari saya mengantar, saya tidak pernah merasa lelah, ataupun jenuh. Karena saya punya semangat, dan menikmati pekerjaan sebagai sopir.
Bagi saya, pekerjaan sebagai sopir, adalah sebuah profesi yang memberikan banyak pengalaman. Selain itu, pekerjaan sebagai sopir, hanya itulah yang aku miliki. Sesekali memang aku tersadar. Akankah pekerjaan ini, akan selamanya kugeluti ? Entahlah.
Sesungguhnya, aku adalah dari kumpulan keluarga terbuang. Aku tinggalkan kampung halaman yang kucintai, lantaran keluargaku tidak perhatian dan tidak peduli padaku. Seenaknya memberi upah padaku. Sementara aku punya tanggung jawab menghidupi ibuku yang menjanda, ditinggal pergi bapakku.
Aku jadi tenaga kerja pada perusahaan pamanku yang berhasil itu. Namun aku tidak diperlakukan selayaknya. Hingga suatu saat, aku benar-benar sudah tak tahan lagi dengan perlakuan pamanku.
Akun pun nekat tinggalkan kampung, negeriku yang kucintai. Sebagai lelaki, aku mestinya tegar. Ajakan temanku, yang menawarkan pekerjaan sopir di negeri seberang, nun jauh, dengan upah yang lumayan, kuterima dengan penuh harapan.
Itulah sebabnya, sehingga aku berada di perkebunan kelapa sawit yang luasnya berpuluh puluh hektar. Hampir setiap dua hari, aku berada di kebun kelapa sawit. Menyabit, membantu menaikkan kelapa ke truk, dan membawanya ke pabrik pengolahan.
Aku memang punya semangat membara. Semangat itu, adalah ibuku. Kubawa ibuku ke perantauan. Bagiku, ibuku adalah segalanya. Aku adalah kehidupannya. Ayahku telah meninggalkannya, karena perempuan lain.
Beberapa tahun aku di perantauan, terjadi masalah yang membuatku hampir putus asa. Sementara aku dan ibuku, sudah mulai bangkit dalam penghidupan. Aku dan pekerja lainnya, diuber-uber polisi di negeri itu.
Memang keberadaan kami di negeri itu, masuk secara ilegal. Tenaga kerja selundupan (TKI ilegal). Aku memang tidak banyak tahu tentang itu. Karena aku tidak cukup pengetahuan. Aku tidak punya pendidikan yang memadai. Tidak banyak mengetahui tentang aturan ketenagakerjaan.
Bila diburu Polisi, kami terpaksa lari dari kamp, barak perkebunan, ke hutan kelapa sawit, jauh ke dalam, bersembunyi, untuk beberapa hari. Setelah merasa aman, dari kejaran Polisi setempat, baru kami keluar dari hutan persembunyian dan kembali bekerja seperti biasa. Yang melindungi pekerja dari kerjaran Polisi, adalah pemilik perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
Seorang tuan tanah yayasanlah yang mendatangkan kami ke perkebunannya. Upah setiap minggunya, kami tabung untuk suatu saat bisa pulang kampung. Setiap akhir bulan para pekerja dibawa berlibur ke kota. Di kota, kita bisa belanja keperluan dan nonton pertunjukan, hiburan, tari, dan musik.
Pada suatu kesempatan, aku sempat tidak sengaja berkenalan dengan seorang gadis manis. Dia teramat baik padaku. Dia membantuku, setiap aku perlukan. Betapa aku bersyukur pada Tuhan, masih ada orang yang begitu baik padaku. Aku menyayanginya. Naluri lelaki yang mengalir dalam tubuhku, perlahan, lahan aku jatuh cinta padanya. Dia pun mencintaiku.
Setiap akhir bulan, bila aku ke kota, kami bertemu. Sampai suatu saat yang saya anggap tepat untuk menyampaikan, hasrat hatiku, untuk melamarnya. Dia pun setuju. Rasa cinta yang kami miliki, tak dapat terpisahkan lagi.
Ku katakana padanya, setelah menikah nanti, dan kontrak kerja di perkebunan habis, saya akan pulang kampung. Saya akan membawanya. Begitu kataku padanya, dan dia pun setuju.
Suatu malam, mata saya mengawang, menerobos celah – celah rerimbunan pohon kelapa sawit yang berbuah lebat. Senyap mengoyak Nurani. Menumbuhkan alam indah naluriku ke ambang sadar, benderang. Aku rindu padanya, SAWITRI. 

Kubuka catatan harianku, dan kubaca puisi yang ditulis sahabatku di kampung yang diberikan padaku. Ketika aku akan meninggalkan kampungku, menuju perantauan.
Sahabatku itu, berkata : “aku tak bisa memberikan sesuatu, hanya ini yang bisa kuberikan untukmu (puisi-red) dari lubuk hatiku. Bacalah ini, bila kamu rindu pada seseorang, berarti kau ingat aku.
Kubaca, baris demi baris. Betapa dalam makna coretan syair itu. Kubayangkan wajah kekasihku. Puisinya berjudul :
Cinta Abadi
Telah kukatakan padanya
Tentang Malaikat Cinta itu
Seluas jagad raya
Sedalam getaran ombak samudera
Diantara pertemuan dua laut
Disitu Malaikat Cinta menitip pesa
Di atas sebuah mukjizat batu air
Yang tak pernah cair
Di permukaannya terpatri
Prasasti pesan Malaikat Cinta
Untukmu…………
Dalam bayang-bayang cinta
Tak akan pernah terhapus
Tak lekang
Meski diguyur derai air mata
Dalam tangis sepanjang zaman
Karena dia cinta abadi itu.
Hingga sampailah suatu saat, aku harus berhadapan dengan orang tuanya. Untuk melamarnya. Betapa aku terkejut tak terkatakan. Yang kuhadapi adalah pemilik perkebunan. Sang bos besar itu, adalah orang tua, ayah SAWITRI, kekasihku itu. Ku kuatkan hatiku. Oh Tuhan, aku berdoa, tolong hambamu yang miskin ini, mana mungkin bisa diterima untuk jadi menantunya.
SAWITRI membantuku. Dia meyakinkan orang tuanya, ayahnya. Bahwa aku lelaki pilihannya. Sawitri tidak pernah mengenal dan jatuh cinta pada lelaki lain, kecuali padaku. ‘’Dia lelaki Pandewang dari negeri seberang. Namanya, sebuah nama yang asing. Aku tak bisa hidup tanpa dia ‘’, kata Sawitri meyakinkan ayahnya. Ibunya sudah tiada. Sawitri anak tunggal. Anak semata wayang dari pemilik perkebunan sawit yang berhasil itu.
Ayah Sawitri luluh hatinya, mendengar pernyataan anaknya itu. Sawitri merasakan seperti mimpi. Aku Pandewang, duduk berbanding dengan Sawitri yang telah jadi istriku, saat resepsi pernikahanku. Ini semua berkat doa ibuku yang selalu memohon rahmat karunia ke hadrat Allah Subhana Wataala.
Johor Baru, Malaysia, 1995.
Penulis : Munasiah Dg Jinne