Sebuah Pengakuan

“Dik, ini ada apa?” tanya Mbak Rani dengan suara panik.

Keesokan harinya, Bu Santi datang lagi bersama pelanggan yang lain. Ternyata, Roni juga telah menipu Pak Ahmad yang merupakan kolega Mas Marwan. Uang yang telah digelapkan Roni semakin bertambah. Begitupun selama seminggu. Bolak-balik Bu Santi bersama pelanggan yang lain datang menemui Roni. Mas Marwan dan Mbak Rani hanya bisa diam dan pasrah mendengar kemarahan para pelanggan.

Sesekali juga Mas Marwan melayangkan tangan ke pipi Roni. Setelah diakumulasi, uang yang digelapkan Roni semakin bertambah menjadi ratusan juta. Mas Marwan dan Mbak Rani menduga bahwa masih banyak pelanggan yang lain telah ditipu oleh Roni.

“Dari mana kami mendapat uang sebanyak itu, Roni? Kebun bapak di kampung habis dijual untuk sekolah kamu. Setelah punya pendidikan tinggi, kamu malah melakukan tindakan kriminal. Kalau begitu, apa gunanya sekolah tinggi-tinggi? Kebohongan apa lagi yang kamu sembunyikan?” tanya Mas Marwan.

Mbak Rani terpaksa menceritakan hal ini ke saudara-saudarinya ke kampung karena ibunya menelepon bahwa orang koperasi datang menagih cicilan yang tidak dibayar tiga bulan. Jadi, jaminan untuk koperasi di kampung adalah rumah tinggal mereka di kampung.

Ketika semua kebobrokannya terungkit, Roni tetap tidak mau mengaku mengenai uang yang hilang entah ke mana selama ini. Dia tetap bertahan bahwa dia dihipnotis. Akhirnya, Bu Santi bertindak tegas untuk membawa kasus ini ke jalur hukum karena sudah merugikan perusahaan. Bu Santi meminta agar uangnya dikembalikan sementara 50%. Sampai-sampai dia mengancam Mbak Rani kalau dia juga terlibat dalam kasus ini. Namun, Mas Marwan pasang badan membantu Mbak Rani.

“Enak saja mengamcam orang. Kita saja tidak pernah menikmati uanganya,” kata Mas Marwan pada suatu ketika mereka makan malam.

Bu Santi memberi tahu kepada Mbak Rani bahwa Roni akan dijemput polisi pada esok hari. Mas Marwan menginterogasi Roni untuk jujur dan pasrah untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Roni juga ketakutan. Sampai akhirnya Roni kabur dari rumah. Mbak Rani semakin stres memikirkan Roni.

“Ma, kamu kenapa? Badanmu, kok, panas?” tanya Mas Marwan khawatir dengan kondisi istrinya. Mbak Rani menggigil, wajahnya pucat. Dia terus memanggil nama Roni. Mas Marwan akhirnya memutuskan untuk membawa istrinya ke dokter.

Ayu langsung menelepon dan mengirimkan pesan kepada Roni, tetapi nomornya tidak aktif. Mas Marwan dan saudara-saudarinya juga menghubungi Roni. Jawabannya sama. Tidak ada respons sama sekali.

- Iklan -

Ayu mencoba mengirimkan pesan melalui facebook bahwa ibunya sedang sakit. Ayu kaget ketika membaca postingan di facebook mengenai penipuan yang dilakukan oleh Roni dan Dimas. Ternyata, status tersebut dibuat oleh Clara dan Budi. Dia memberitahukan kepada kedua orang tuanya. Mendengar hal tersebut, kondisi Mbak Rani semakin menurun.

Beberapa jam kemudian, di tempat yang berbeda, Roni membuka facebook. Dia membaca pesan dari Ayu. Alangkah kagetnya dirinya ketika mengetahui jika Mbak Rani sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Air matanya mulai menetes dan menyesal. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Roni hanya bisa bersembunyi untuk sementara waktu. Dia berharap, Mas Marwan bisa melakukan sesuatu untuknya agar tidak dipenjara.

“Maafkan, Roni, Mbak! Semua salahku,” ucapnya dengan nada menyesal sambil mengusap air mata di pipinya. Roni tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyesal dan mengharapkan keajaiban terjadi.

Roni yang tersiksa jiwa dan raganya; Mbak Rani yang jatuh sakit; ibu dan bapaknya yang stress karena bergelut dengan lilitan utang di kampung. Mereka hanya pasrah. Sementara itu, terlihat Dimas hanya santai saja. Sesekali menelepon tertawa terbahak-bahak tanpa dosa. Dia hanya memikirkan cara memenangkan perjudian online itu.

“Tok.. tok…tok!” tiba-tiba pintu indekos Roni diketuk seseorang. Roni menoleh ke pintu. Dimas langsung bangkit dari tempat duduknya membukakan pintu. Alangkah kagetnya Dimas dan Roni ketika yang datang adalah polisi.

Roni tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali pasrah pada keadaan. Dia tidak bisa berkutik ketika ditangkap. Dimas pun dibawa serta untuk memberikan keterangan.

Mbak Rani yang menerima kabar dari Mas Marwan bahwa Roni sudah ditangkap dan dibawa ke Kantor Polisi begitu lega. Mas Marwan lalu memutuskan untuk menyusul ke sana.

Sesampainya di Kantor Polisi, dia langsung mencari Roni. Ternyata, Roni masih dalam perjalanan bersama beberapa petugas kepolisian. Mas Marwan menunggu di depan pintu. Tidak lama kemudian, terlihat mobil yang ditumpangi Roni sampai di kantor polisi.

Roni dan Dimas diturunkan dari mobil lalu menuju ke pintu masuk. Mas Marwan langsung menghampiri Roni dan memeluknya. Tanpa sadar, Mas Marwan meneteskan air mata.

“Kenapa kamu bisa melakukan semua ini, Dik?” bisik Mas Marwan di telinga Roni.

Mendengar pertanyaan Mas Marwan, Roni diam membisu. Air matanya juga mulai membasahi pipinya. Dia terus menunduk tidak bisa menatap wajah Mas Marwan.

Pikiran Roni tidak bisa berpikir lagi. Dadanya terasa sesak menahan semuanya. Mulutnya sudah tidak tertahankan lagi melontarkan semuanya. Tiba-tiba Roni memeluk balik Mas Marwan dan berbisik, “Maaf, aku sudah memilih jalan yang salah. Aku mencintai Dimas!” Mas Marwan kaget. Mulutnya bungkam seribu bahasa. Tubuhnya lemas seketika. Perjuangan yang sia-sia belaka.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU