Stop Kekerasan pada Wanita

“Sudah kubilang, jangan meninggikan suaramu!” bentaknya kembali, dengan melotot kan matanya.

Sesampainya di rumah sakit..

“Dok, dokteerrr… ” teriakku setelah sampai ke rumah sakit.

“Dok, dokteerrr tolong, tolong selamatkan teman saya.”

“Baik. Bapak tenang dulu, dan mohon tunggu disini.”

“Perawat, bawa pasien ini ke ruang rawat.” Perintah sang dokter.

“Baik, Dok.”

Shila, maaf, maafkan aku yang tidak bisa menjagamu. Maafkan aku yang hanya memberikan penderitaan kepadamu, Shilaaaaaaaaa…

Tidak peduli dengan orang di rumah sakit itu, Hamdan terus saja berteriak. Meneriakkan nama Arshila.

Hamdan mencoba menyakiti dirinya sendiri. Beberapa orang menatap heran ke arahnya dan mungkin menganggapnya sudah tidak waras. Ia lekas berhenti setelah melihat dokter yang merawat Arshila keluar ruangan.

- Iklan -

“Pasien baik-baik saja, Pak. Bapak tidak perlu khawatir.” tuturnya, seakan mengerti tentang kalimat yang telah ditunggu oleh Hamdan.

“Serius, Dok?”

“Iya, Pak. Bapak boleh menemuinya sekarang dan bapak usahakan menjauhkan pasien dari hal-hal yang bisa mengundang rasa traumanya kembali.”
‘Trauma?’

“Kalau begitu saya permisi, Pak.” Belum sempat ia bertanya kembali, dokter itu sudah pergi. Trauma apa yang dokter itu maksudkan? “Shila” ucapku lirih.

Dengan sedikit ragu, Hamdan berjalan menuju ruang rawat itu. Tangannya bergetar memegang gagang pintu, ia sedikit mengintip dan mendapati sosok Arshila masih dengan pandangan kosongnya.

“Shil,” sapa ku. Namun, Arshila sama sekali tak menyahut.

“Shila,” sedikit ada kemajuan, Shila sudah mau menatap wajah tampanku.

“Kamu baik-baik saja?” Arshila masih tak menyahut. Ia masih terus menatapku tanpa berkedip sedikit pun. Bulu kudukku seketika berdiri, takutnya ia kerasukan makhluk gaib.

“Shila. Hei, kamu kenapa?” tanyaku memberanikan diri.

“Asha, dimana dia?”

“Asha? Aku gak tau keberadaannya. Kenapa kamu menanyakannya?” kembali ia tak
menyahut dan hanya menatapku nanar.

“Shil, aku ingin bertanya sesuatu.” pungkas ku setelah beberapa saat. “Trauma apa yang sampai membuat kamu seperti ini?” lanjut ku. “Apa pedulimu?” Bukannya menjawab, Arshila malah balik bertanya.

“Aku peduli karena aku merasa bersalah!” jawabku. “Tolong, maafkan aku, Shila.” ucapku lirih.

“Untuk apa meminta maaf. Jika kesalahan yang sama masih dilakukan.” “Ma-maksud kamu?” tanyaku tak mengerti.

“Laki-laki memang seperti itu, tidak pernah memahami maksud dari perkataan seorang wanita.”

Hamdan yang mendengarnya semakin bingung, sembari mengusap wajahnya,
“Ya Allah, berikan aku ujian yang lain. Jangan Engkau mengujiku dengan rumus wanita.” dengan sedikit mengecilkan volume suaranya.

“Ayolah, Shila. Jangan memainkan teka-teki seperti ini.” Mendengar hal itu, Arshila hanya menyeringai.




“Hamdan Althaf, kamu tidak tau bukan kenapa aku begitu tidak menyukaimu! Apakah kamu ingin mengetahui alasannya? Mari, duduklah disini.” Hamdan hanya mengangguk dan dengan sedikit takut ia duduk di samping Arshila.

Mengherankan sekali, sosok Hamdan yang terkenal akan kegarangannya, ketampanannya, kesombongannya, seketika menjadi penakut layaknya seorang pecundang.

“Aku ini korban dari perceraian orang tuaku. Mereka berpisah karena seringnya ibuku mendapat perlakuan tak mengenakkan dari ayahku.

Aku terganggu dengan semua pertengkaran itu. Aku malu sekaligus iri kepada para tetangga. Mereka memiliki keluarga yang utuh dan rukun, tapi aku? Memang, tidak sepantasnya aku membanding-bandingkan kehidupanku dengan orang lain.

Tapi, apalah dayaku, aku juga seorang manusia biasa. Pada awal-awal perpisahan mereka, aku tinggal bersama ibuku. Ibuku selalu berusaha terlihat tegar meskipun aku tau ia pun begitu rapuh. Ia berusaha menjadi sosok ayah sekaligus ibu yang baik untukku.

Aku sangat menyayanginya. Tapi, tak berselang lama ayahku datang dan kembali melakukan kekerasan kepada ibuku. Dan di titik inilah rasa trauma itu menghampiriku. Ibu jatuh tersungkur hingga tak sadarkan diri

Naasnya, ibuku dinyatakan tak bisa diselamatkan lagi.” Arshila bercerita sembari menangis, mengingat masa kelam yang telah terjadi.

“Kamu tau Hamdan, setelah sekian lama mencoba mengubur kenangan pahit itu. Kini, dengan susah payah juga kamu menggalinya. Apakah sebesar itu kebencianmu kepadaku, hingga berusaha mengorek luka lama yang menjadi kelemahan ku. AKU MEMBENCIMU, PERGILAH!” lanjutnya.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU