Sedangkan Hamdan yang mendengar hal itu, tiba-tiba terperanjat dari duduknya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tersesat. “Shil,” lirihnya. Setelah menyebut nama itu, ia langsung tersungkur ke lantai. Merasa bersalah hingga tanpa sadar air matanya sendiri yang menjadi saksi penyesalan itu.
Namun, Arshila, tak menghiraukan apa yang terjadi terhadap pemuda yang tersungkur di sampingnya. Arshila sendiri bingung mau berbuat apa, sebab, ia juga sulit mengendalikan emosinya. Apakah sebegitu parahnya suatu kehidupan?
Driinkkk…driinkk..driinkkk..
Bunyi telepon tiba-tiba terdengar. Tetapi, kami masih belum bisa mengendalikan diri.
Driinkkk…driinkk….
Bunyi kedua dari telepon itu pun terdengar.
“Halo,” suara lirih dibalik telepon itu menyadarkan ku. “Hamdan, Nak.. hiks,,hikss,” suara orang menangis?
“Iya, ada apa, Bu?” tanya Hamdan.
“Asha, Ndan, Ashaaa..” dengan sedikit histeris. “Iya. Ada apa dengan Asha, Bu?”
“Asha, su-sudah tidak ada, Nak. Dia sudah pergi, hu hu hu,”
“I-ibu jangan bercanda dong. Memangnya Asha pergi ke mana?”
“Dia sudah tidak ada!”, “sudah lenyap dari kehidupan yang kejam ini!”, “Dia sudah tidak ada! Tidak adaaa!”
Apa? Asha? Tidak, ini tidak mungkin. Apakah dia menjadi korban bunuh diri akibat kekerasan yang terjadi padanya? “Tidaakkkk” teriakku histeris.
Hamdan yang melihatku berteriak, langsung menghambur menenangkan ku dalam dekapannya.
“Hamdan, Ashaa, katakan ini cuma mimpi, kan? Iyakan? Ayo katakan, ini cuma mimpi, hiks,” aku terus memukul dada Hamdan, berharap ia mengangguk.
Tapi tidak, ia justru terlihat heran melihatku, “Shil, kendalikan diri kamu. Apa yang terjadi?” tanyanya.
“Apa kamu budek? Asha sudah tidak ada. Ini semua gara-gara kamu.” sambil terus memukulinya. Ia pun langsung menimang tanganku.
“Apa maksud kamu? Memangnya Asha ke mana?” tanyanya. Apakah ini sekedar ilusi?
“Kamu kenapa?” tanyanya. Aku hanya terdiam. “Tolong maafkan aku, Shil,” lanjutnya kemudian.
Belum sempat menjawab, pandanganku kembali berkunang-kunang. Aku hanya menatap
Hamdan sekilas, “aku ingin beristirahat, tolong.” pintaku. “Baiklah.” Sebegitu menderitanya kah kamu, Arshila?
Beberapa hari kemudian…
‘Sha, tolong maafkan aku. Maaf atas segala perkataan dan perlakuan kasar ku.” Pesan singkat ku kirimkan kepada Asha.
“Bajingan kau, Hamdan!” balasnya.
“Asha, tolong maafkan aku.”
Pesan Terakhir Sebelum Semuanya Usai
Dibalik tegarnya seorang wanita, terselip jua kekecewaan yang sangat mendalam. Hubungan dimulai dari ucapan lisan yang diukir oleh indahnya kata, dan berakhirnya sebuah hubungan, disebabkan oleh ucapan lisan yang tak tau adab dalam berkata.
Hidup memang tak sesederhana yang kita pikirkan, begitu pun, tak serumit yang terlihat oleh mata. Semuanya tergantung dari keinginan seorang insan. Tak ada paksaan terkecuali dalam hal peribadatan.
Sebuah karya cerpen berjudul STOP KEKERASAN PADA WANITA oleh Hijriani S