Setelah orang tuanya pergi, Cahya langsung membantu sang nenek memasak masakan kesukaannya. Gadis itu selalu menikmati momen-momen indah bersama kakek dan neneknya.
Keesokan hari setelah Shalat Ashar Cahya mengunjungi sebuah masjid yang pernah menjadi tempat mengajinya dulu, Cahya melihat beberapa anak sedang fokus dengan tulisannya dan sebagian yang lain fokus dengan hafalannya, tiba-tiba terdengar suara “ Assalamualaikum, mba?” ucap seorang pria memakai baju koko berwarna cokelat lengkap dengan peci yang sedang berdiri di belakangnya.
“Wa’alaikum salam” suara Cahya yang sedikit terkejut. Melihat pria itu membuat Cahya terpesona, “Terakhir aku berkunjung kesini belum ada pria sepertinya”, gumamnya dalam hati.
Wajah tampan serta senyum manis seketika berhasil memikat hati Cahya, aura seorang ustaz begitu terpancar saat pertama kali bertemu.
“Ada apa mba kesini? Mau jemput adiknya?”
“Oh tidak, saya tidak punya adik, tadi saya sedang jalan-jalan di sekitar sini, lalu melihat anak-anak, saya jadi ingin kemari. Oh ia, saya cucunya kakek Rusdan”
“ Kakek Rusdan?”
“Ia betul”
“Saya kenal baik kakek Rusdan. Perkenalkan saya Fikri, ustaz baru yang sekarang mengajar murid-murid disini” ucap Fikri sambil menjaga pandangannya.
“Pantas saja saya baru lihat, 5 bulan yang lalu saat saya kemari, belum ada masnya” ucap Cahya yang sedikit canggung.
“Ia, mari mba saya tinggal ya, mau lanjut mengajar anak-anak”
“ Baik silahkan”
Pertemuan yang begitu berkesan bagi Cahya, baru kali pertama gadis ini merasakan jatuh cinta. Sebagai seorang perempuan muslim, Cahya mengerti betul batas-batas larangan antara lawan jenis yang selalu diajarkan orang tuanya sejak kecil.
Hal ini membuat Cahya hanya mengenal beberapa laki-laki, itu pun sebatas berteman. Cahya tak pernah berpacaran, justru dia sangat sulit menyukai laki-laki, namun pertama kali melihat Fikri, Cahya langsung terpikat.