Dhea ingin menjadi sastrawan yang terkenal, sehingga bisa membuat ibu dan ayah bangga pada Dhea.” Dengan raut wajah datar ibu dan ayah Dhea, seakan-akan tak menghiraukan bahkan tak peduli dengan cerita dan cita-cita Dhea.
Dengan rasa kecewa, Dhea ditemani kak Putri kembali ke kamarnya. Tidak tega dengan perlakuan kedua orang tua yang meremehkan Dhea, kak putri berkata pada Dhea “tidak ada hasil yang akan menghianati usaha Dhea, kamu bisa membuat ibu dan ayahmu bangga suatu saat nanti, jadi jangan pernah patah semangat ya, teruslah belajar untuk cita-cita Dhea,” kata kak Putri dengan raut wajah sedih.
Hari demi hari terus dilalui Dhea dengan semangat, puisi bagi Dhea adalah sahabat terbaiknya. Berpuisi adalah cara Dhea menikmati waktu luangnya.
Gadis dengan cita-cita ingin menjadi sastrawan terkenal tersebut terus belajar dan membuat karya puisi, meskipun dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Dhea tidak pernah merasa putus asa untuk menggapai cita-citanya.
Waktu terus berlalu, kini Dhea sudah beranjak dewasa di usianya yang sudah 22 tahun. Gadis cantik dengan hobi berpuisi itu kini sudah bukan anak kecil lagi. Bersama kak Putri, Dhea masih terus belajar dan membuat karya puisi.
Kini karya puisi Dhea sudah mulai dimuat di beberapa situs pendidikan online, meskipun belum terkenal, namun Dhea masih akan terus berusaha untuk masa depannya.
Beberapa bulan kemudian karya Dhea terus dimuat oleh beberapa situs pendidikan online. Hingga suatu saat, di pagi hari telepon Dhea berbunyi, “kring… kring…”
“Halo, apakah benar ini dengan saudari Dhea?” Tanya penelpon dengan nada halus.
“Iya benar, dengan saya sendiri,” Kata Dhea sambil menarik nafas.
“Maaf ini dengan siapa? dan kalau boleh tau ada keperluan apa ya?” Tanya Dhea dengan rasa penasaran.
“Ini dengan pak Wito, dari salah satu perusahaan penerbit buku di Jakarta, kami ingin menawarkan untuk penerbitan karya-karya puisi milik Dhea.” Jawab pak Wito.
Dengan perasaan bahagia, Dhea menerima tawaran pak Wito. Dengan bantuan kak Putri, Dhea mencari tahu tentang sosok pak Wito yang ternyata adalah pemilik perusahaan penerbit buku terkenal dan juga sebagai sastrawan terkenal di mancanegara.
Rasa bahagia bercampur haru kini semakin menyelimuti perasaan Dhea. Dhea merasa jika cita-citanya kini sudah berada satu langkah di depan mata.
Dengan perasaan bahagia, Dhea dengan ditemani kak Putri meminta izin kepada kedua orang tua Dhea untuk berangkat ke Jakarta. Dengan sedikit harapan yang terlihat oleh orang tuanya, akhirnya Dhea mendapat izin untuk berangkat ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, Dhea dan kak Putri bertemu dengan pak Wito. Segala hal telah Dhea lalui, mulai dari Seminar sampai wawancara terkait karya ciptaan Dhea. Kini Dhea tinggal menunggu hasil sembari berdoa semoga ini adalah jalan terbaik untuk masa depan Dhea yang lebih baik.
Keesokan harinya, saat Dhea baru saja terbangun dari tidurnya, sosok kak Putri sudah berada di samping Dhea dan berkata
“Setiap orang berhak untuk menentukan masa depannya, tidak ada ciptaan yang sia-sia di Dunia ini.” Kata kak Putri sambil menahan tangis.