Corona dan Kehidupan Beragama di China, Kesaksian Seorang Santri

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Sistem politik yang terpusat, kondisi ekonomi dan ketersediaan logistik yang memadai membuat China mampu cepat mengkonsolidasikan diri untuk mengatasi wabah Corona. Tak heran bila pemerintahan Xi Jinping berani memutuskan untuk me-lockdown Wuhan cuma dalam tempo 8 jam.

“Keputusan lockdown itu diambil pada 23 Januari pukul 02 dini hari ketika masyarakat tengah terlelap tidur, dan langsung berlaku pada pukul 10 paginya,” kata Novi Basuki, kandidat doktor politik internasional dari Universitas Sun Yat-sen , Jumat (1/5/2020).

Kekacauan sempat terjadi, termasuk ada aksi panic buying. Tapi semua cepat terkendali karena pemerintah langsung memasok berbagai kebutuhan pokok agar harga tetap stabil. Gugus tugas di berbagai tingkatan bekerja cepat dan cermat menyadarkan warga untuk mematuhi semua protokol kesehatan.

“Seorang teman di China pernah bilang, yang paling gampang diatur di dunia itu orang China,” ujar Novi. Apakah hal itu karena mereka takut pada virus corona atau pemerintah? “Takut dua-duanya,” imbuh lelaki kelahiran Situbondo, 11 September 1993 itu.

Akibat penerapan lockdown dan pandemi corona, perekonomian China anjlok pada kuartal pertama 2020, ke titik terburuk seperti yang terjadi pada 1992. Tapi kini kehidupan negeri itu mulai menggeliat dan bangkit kembali.

Gerak cepat pemerintah China memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyatnya tak lepas dari resep yang disodorkan Sun Simiao, tabib di era Dinasti Tang. Sang Tabib pernah berujar, “Betapa berharganya nyawa manusia, lebih mahal dari seribu emas harganya; barang siapa bisa menyelamatkannya, maka terpuji benar akhlaknya.”

Pada bagian lain, santri lulusan Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur mengutarakan kesaksiannya terkait kehidupan beragama di China. Juga konflik muslim Uighur di Xinjiang yang mendapat perhatian luas, termasuk sebagian masyarakat Indonesia.

Novi Basuki yang belajar di China sejak 2010 menyatakan, pemerintah China menjamin kebebasan semua warganya dari suku mana pun untuk beragama atau tidak. Juga tak ada larangan bagi warganya yang ingin keluar atau masuk dari agama semula ke agama lainnya.

Tapi tetap ada rambu-rambu yang wajib dipatuhi. Bagi yang beragama, aktivitas keagamaannya tidak boleh keluar dari koridor “normal”. Komite Partai Komunis Xinjiang dan Pemerintah Daerah Xinjiang menerbitkan “Dokumen Nomor 11” pada 2013. Di situ disebutkan, di antara aktivitas keagamaan yang tidak “normal” adalah yang radikal (jiduan).

- Iklan -

Terkait permasalahan Uighur, muslim di Xinjiang, Novi Basuki melihatnya sebagai permasalahan separatisme yang berkelindan dengan radikalisme agama. Kelompok-kelompok separatis muslim Uighur menggunakan identitas Islam untuk menarik simpati suku-suku lain yang seagama di Xinjiang.

“Andai cuma menonjolkan identitas kesukuan, kaum muslim bersuku Kazakhs tak akan bersimpati kepada gerakan mereka,” ujarnya.

Selengkapnya, saksikan Blak-blakan Novi Basuki, “Wabah Corona hingga Konflik Uighur” (WLD/*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU