“Saudari Mareta Angraini. Silahkan anda ikut kami ke kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut,” ucap salah seorang detektif berjaket hitam.
Sesampainya di kantor polisi, Mareta membersihkan diri terlebih dahulu. Ia membalut luka di sebagian tubuhnya sebelum diinterogasi. Di ruang interogasi, air mata Mareta bak air hujan yang turun dengan deras.
Mareta menjelaskan pada polisi bahwa ia datang ke tambak garam bersama ketiga adiknya untuk mengajari mereka bertani garam. Namun tiba-tiba ada pria bermasker, bertopi, dan berpakaian serba hitam menyerang ketiga adiknya yg sedang berada di pinggir tambak.
Kemudian menyeret mereka ke dalam bangunan tua. Mareta yg sedang berada di tengah- tengah air tambak hanya bisa berteriak dan minta tolong.
Mareta menyusul mereka ke dalam bangunan itu. Sesampainya di sana, ketiga adiknya sudah dalam keadaan tak berdaya berlumuran darah. Lalu pria itu menyerang Mareta, tapi Mareta berhasil melawan dengan menggunakan alat seadanya yang berada di dalam bangunan itu.
Mareta histeris hingga membuat orang-orang berdatangan dan pria itu menghilang tak tahu batang hidungnya. Luka dan goresan di sebagian tubuh Mareta tak sebanding dengan luka di hatinya saat itu.
Untuk memastikan keterangan dari Mareta, polisi meminta tim untuk memeriksa CCTV jalan dekat tambak garam itu. Beberapa jam kemudian, rekaman seorang pria berpakaian serba hitam sedang berjalan menuju tambak garam didapatkan. Sesuai keterangan Mareta, semua tak terbantah. Tak butuh waktu lama, polisi memanggil dan menahan pria itu ke kantor polisi dan menginterogasinya.
“Pak, saya sudah bilang, saya kesana untuk bertemu teman saya tapi dia tidak datang. Ada yang memukul kepala saya dari belakang akhirnya saya pingsan,” terang pemuda itu.
Sayangnya, pengakuan dari pria dengan panggilan Arman itu bagaikan angin berlalu. Ia dia tidak bisa menunjukkan bukti apa-apa. Akhirnya Arman harus mendekam di penjara sampai sidang dilaksanakan.
Hari berganti hari, dua puluh jam sebelum sidang dilaksanakan, Arman mendapat telepon dari pihak keluarganya. Mereka mengabarkan bahwa ibu Arman meninggal dunia. Untuk alasan kemanusiaan, pihak kepolisisian mengizinkan Arman melayat ke pemakaman ibunya ditemani beberapa petugas. Dengan borgol di tangannya, Arman menangis di depan kuburan ibunya.
“Sudahlah kak, ibu sudah tiada, seandainya kakak tidak melakukan ini mungkin ibu masih di saampingku saat ini,” ucap lirih seorang wanita cantik.
“Kau bilang kau tidak bersalah, hah, siapa percaya? Kakak sudah banyak mengecewakan kami,” tambahnya.
Arman tak terdengar membalas sepatah katapun. Tak lama kemudian, ia dan pihak kepolisian pergi meninggalkan pemakaman. Seorang wanita yang memanggilnya kakak pun juga turut meninggalkan kuburan setelah itu.
Satu jam sebelum sidang kasus pembunuhan yang terjadi di bangunan tua dekat tambak garam itu, Mareta tampakya sudah duduk di kursi depan ruang sidang. Sepertinya ia tidak sabar Arman mendapatkan hukuman yang setimpal. Arman yang akan disidang juga sudah siap dengan pengacaranya. Mereka duduk di kursi tak jauh dari Mareta sembari ditemani petugas kepolisian.
Akhirnya sidangpun dimulai. Mareta, Arman, adik Aman, dan beberapa orang yang menjadi saksi pada saat kejadian juga berada di ruang sidang. Mulanya, sidang berjalan dengan tenang.
“Awalnya saya melihat mbak Mareta bersama tiga saudaranya menuju ke tambak garam. Beberapa jam kemudian saya mendengar orang teriak dari arah bangunan. Jadi saya kesana dan saya mendapati mbak Mareta luka-lukan,” ucap salah seorang saksi.