Rupanya kesaksian dan bukti mengarah pada Arman seorang. Bahkan adiknya tak membela Arman sedikitpun. Dia meminta Arman dihukum seberat-beratnya. Namun kejadian yang tak disangka-sangka terjadi saat itu. Ketika seluruh isi ruangan memaki Arman, pengacaranya berdiri dan meminta izin bicara pada hakim.
“Saudari Mareta Angraini. Anda sengaja menyelidiki klien saya lewat sosial media. Anda mencari pria pecandu narkoba seperti Arman untuk akhirnya anda jadikan kambing hitam. Anda mengirim pesan pribadi kepada klien saya pada 1 Desember, anda bilang akan menghadiahinya sabu dengan alasan anda tertarik dan ingin bertemu dengannya,” pengacara Arman coba menjelaskan di tengah keributan itu.
“Setelah sekitar dua puluh hari saling bekirim pesan, akhirnya 24 Desember kalian memutuskan bertemu di tambak garam. Tapi klien saya dipukul dari belakang akhirnya pingsan. Kemudian anda mengambil HPnya sebagai bukti utama,” pengacara Arman kembali melanjutkan.
“Entah anda benar-benar tidak tahu ini atau anda melewatkannya, saya adalah lulusan S2 Information Technology di Singapore. Di pemakaman ibu, saya bertemu dan meminta pengacara untuk mengurus semuanya sesuai arahan saya. Kita menemukan Internet Protocol Address anda. Anda sendiri yang membunuh saudara-saudara anda, bukan begitu Saudari Mareta yang terhormat?” Timpal Arman sembari tersenyum pedas.
Bak tertampar petir di panas terik matahari, Mareta marah di depan hakim dan menyebutnya sebagai pencemaran nama baik. Hakim mengisyaratkan agar semuanya tenang dan meminta pengacara Arman menyerahkan bukti untuk pembelaan kliennya.
Pengacara muda itu menyodorkan beberapa berkas pada hakim. Hakim tercengang melihat lembar demi lembar berkas itu. Di dalamnya berisi lengkap akun-akun, isi pesan, hasil visum pukulan terhadap Arman, dan bukti konkret lainnya.
Melihat hakim yang sepertinya akan mempertimbangkan keputusannya untuk memenjarakan Arman, Mareta naik pitam dan mengamuk. Semua orang di ruang sidang terlihat menggunjing, melirik dengan mata curiga, dan berbisik satu sama lain.
Melihat dirinya seperti tak berharga di hadapan semua orang, Mareta mengeluarkan bolpoin yang berisi sebilah silet, ia menodongkan pada siapapun yang mendekatinya. Seketika suasana hening.
“Mereka pantas mati. Ibu Aprilio sengaja berselingkuh dengan ayah hingga membuat ibuku mendapatkan KDRT, ibuku stroke, depresi, dan akhirnya meninggal. Setelah ayah meninggal, Ibu Meia mengirimiku pesan ancaman, dia akan melukaiku jika tidak memberinya warisan dari ayah.
Ibu Juna, dia memperlakukanku tak ubahnya babu, aku dipaksa bekerja mencari uang untuknya. Apa aku salah? Aku hanya merindukan ibu, aku rindu ibuku,” tangis Mareta pecah di tengah-tengah keheningan suasana sidang.
Hakim memutuskan agar diadakan pemeriksaan ulang dan menahan Mareta di penjara hingga sidang kedua dan terungkap semua bukti.
“Saudari Mareta Angraini. Anda ditahan atas dugaan kasus pembunuhan. Anda berhak membela diri dan menyewa pengacara,” tegas salah seorang polisi sambil memborgol tangan Mareta.
Beberapa waktu kemudian sidang kedua dimulai. Hakim menyatakan bahwa Mareta bersalah dan Arman bebas dari segala tuduhan. Namun Arman sendiri ditahan karena dugaan penyalah gunaan narkotika.
Dalam darah Mareta hanya mengalir rasa rindu pada si pemilik surga di telapak kakinya. Rindu berlebih yang menggebu hanya membuat ia selalu ingin menyingkirkan orang-orang yang menyebabkannya merindukan sang ibu dengan cara seperti ini.
Penulis : Winda Rafanda