Dari Gogoso’ sampai dengan Pencakar Langit

Kenangan kepada Alwi Haji Muhammad

Oleh: S Sinansari Ecip

Saya terlambat dengar Nur Aini, isteri Alwi, meninggal. Petang itu saya langsung ke Bandara Cengkareng. Beruntung saya dapat pesawat yang ke Papua. Karena agak lambat, pesawat tiba di Mandai dinihari. Setelah Subuh saya dijemput anak saya.

Lebih satu jam kemudian, saya ke rumah Alwi. “Saya minta sarapan,” kataku. Alwi tertegun.

“Agak kusut, dari mana ko?”

“Dari bandara langsung ke makam.” Saya menerima piring yang disodorkan Alwi. Dia terdiam. Kami makan.

Dua jam kemudian kami sudah di lantai 4 Graha Pena, Rapat. “Ecip pagi-pagi sudah dari makam Noni.”

Kata-kata Alwi tersendat di kerongkongan. Alwi menyilakan saya evaluasi koran Fajar hari itu.

Penjual Gogoso’

- Iklan -

Alwi kecil menjual gogoso’ di tempat bus atau angkutan umum singgah di Sidrap

Dia berlari-lari kecil.

Gogoso’ atau sering diucapkan sebagai gogos adalah kue sejenis lemper. Bahan utamanya ketan-masak yang digulung. Di dalamnya ada ikan dihancurkan yang sudah dibumbui agak pedas. Bungkusnya daun pisang yang agak berminyak dan gosong/hangus karena telah dipanggang.

Alwi lahir di desa Allekuang di Sidrap. Tidak jauh dari rumah Haji Muhamad ada bukit berbatu-batu. Produk desa ini adalah cobek batu untuk bikin sambala’ dan batu nisan.

Cetak Sederhana

Alwi dan aktivis-aktivis mahasiswa menerbitkan koran mingguan. Bentuknya tabloid 8 halaman. Itu untuk meramaikan awal sejarah Orde Baru. Nama mingguan tersebut adalah Surat Kabar Umum KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di Jakarta terbit Harian KAMI.

Bagaimana huruf-huruf besi atau timah disusun? Huruf-huruf tersebut terpisah-pisah lalu disusun satu per satu berpedoman pada naskah yang diketik. Alwi membelinya di Salatiga. Kemudian hasil susunan tangan (handzet) disusun lagi dalam ukuran halaman koran. Jika kurang hati-hati ketika diangkut becak bisa berantakan.

Cetaknya di Bakti milik pemerintah provinsi, di Hogepad, Jl A Yani sekaràng. Koran dijual kepada umum.

Menyiapkan Fajar

Beberapa minggu Alwi membujuk saya untuk bersama-sama menerbitkan koran harian baru. Namanya Fajar. Saya mau tapi harus tunggu saya pulang dari Amerika selama 2 semester.

Alwi mencari awak redaksi yang tangguh di Makassar tapi tidak ada. Kemampuan saya biasa-biasa saja karena tiap hari bergelut dengan tulis menulis.

Siap Terbit

Pulang dari Amerika, saya ditagih Alwi. Saya bikin kursus kilat. Pesertanya Hamid Awaludin, Aidir Amin Daud, Abun Sanda, Endang dan Ivone. Kursus ini ditunggui Harun Rasyid. Harun mungkin heran atas hal-hal baru yang saya ajarkan. Harun wartawan produk lama. Dia yang jadi pemimpin redaksi.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Selamat Jalan Daeng Alwi Hamu

Saya jadi wakil pemimpin redaksi. Sehari-hari yang mengelola bidang redaksi adalah saya. Harun Rasyid Djibbe jadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Alwi Hamu sebagai pemimpin perusahaan. Surat Izin Terbitnya memang atas nama Harun. Saya bikin berita kecil tentang terbitnya Fajar. Berita tersebut dimuat Kompas.

Aktivis pers kampus yang menonjol terutama dari Universitas Hasanuddin (Unhas). Difasilitasi universitas, mereka punya tabloid Identitas yang masih terbit sampai sekarang. Inisiatornya Anwar Arifin, yang kemudian jadi pimpinannya. Saya punya rubrik di Identitas. Isinya kritik. Namanya Si Pahit Lidah.

Beberapa mahasiswa kampus lain juga saya seleksi. Inilah peristiwa penting dalam sejarah pers Indonesia. Serombongan besar aktivis pers kampus hijrah ke pers umum. Meŕeka mendominasi awak redaksi Fajar.

Hasilnya seperti apa? Pers-baru hadir di Makassar. Isinya berani, bahasanya jelas, memihak yang lemah. Informasinya baru, tidak atau belum diberitakan media. Koran lain terkejut. Apalagi mereka tahu saya juga koresponden majalah Tempo.

Dua peristiwa penting kami beritakan bersambung berhari-hari. Saya rencanakan dengan baik lalu saya tulis ulang dengan lebih baik. Intinya supaya pembaca terpancing untuk mengikutinya terus. Beberapa hari Fajar tiap hari cetak beberapa kali. Penjualan eceran sangat naik. Apa pemberitaannya?

Satu, peristiwa pembunuhan bupati Bone. Tersangkanya seorang tukang kebun. Info harus digali secara rinci. Info harus didapat dari para saksi, polisi, rumah sakit, dokter yang periksa jenazah, dan lainnya. Dibuat gambar peta kejadian. Foto-foto dilengkapi.

Dua, tertangkapnya Menteri Pertahanan Kelompok Kahar Muzakar. Berita pertama Fajar dan media lain cuma tertangkap Sanusi Daris itu saja. Pembaca dan umum ingin rinci apa yang terjadi sebenarnya, bagaimana latar belakang dan bagaimana bisa tertangkap. Alur penyusunannya harus membuat pembaca asyik dan puas.

Bergabung dengan Jawa Pos

Masa jaya Fajar terjadi waktu berkantor di Racing Centre. Semangat pekerja sangat tinggi. Penjualan meningkat dan iklan juga banyak. Pada periode ini, Jawa Pos sudah menyusup ke dalam Fajar.

Grup Jawa Pos menggurita. Di beberapa kota, Japos kerja sama dengan koran lokal.

Bos Japos menghubungi saya. Dia mengenal nama saya pertama ketika membaca makalah saya pada pelatihan jurnalisme di Jatim. Saya ikut melatih. Kakak perempuan Dahlan peserta latihan tersebut. Dahlan yang tinggal di Kaltim membaca bahan-bahan yang dibawa kakaknya.

Kami (Dahlan dan saya) berencana bikin koran baru. Saya temui Menpen Harmoko. Menpen tidak setuju tapi usul perkuat koran lama.

Baca Juga:  Pers Pengawas Kekuasaan dan Penjaga Harapan

Dahlan dan Alwi mempersiapkan kerja sama itu. Saya tidak ikut karena haruk aktif belajar di Universitas Indonesia. Dahlan kepada saya bilang, tidak kenal Alwi. Yang dia kenal ecip. Yang sebelumnya menindaklanjuti ke Japos adalah Kipli Gani Ottoh, adik ipar Alwi.

Sebelum itu, oleh Unhas saya diberi tanggung jawab memimpin proyek peningkatan pelatihan wartawan, dua gelombang pada tahun 1983 dan 1984. Masing-masing pelatihan selama 2 bulan. Tiap gelombang peserta terbanyak dari Fajar. Peserta terbaiknya Aidir Amin Daud untuk gelombang pertama. Baso Amir terbaik untuk gelombang kedua. Keduanya wakil dari Fajar.

Dalam rapat umum pemegang saham Fajar di Batam, Alwi umumkan pengangkatan saya sebagai komisaris tanpa saya minta. Alwi juga sampaikan dia awalnya belum dikenal Dahlan. Yang dikenalnya ialah Ecip. Sampai berdirinya Graha Pena, saya tidak ikut lagi di Fajar.

Ketika Fajar-baru akan terbit, Dahlan telepon saya. “Mas Ecip ayo kita ke Makassar, kita bidani lahirnya Fajar-baru.” Saya dengan biaya sendiri bargabung dengan Dahlan di Makassar. Sampai tulisan ini dibikin, saya masih di posisi komisaris.

Hubungan Akrab

Hubungan Alwi dan isteri (Noni) dengan saya dan isteri cukup akrab. Isteri saya memanggil Noni dengan Kak Noni. Anak-anak saya memanggil Noni dengan Tante Kak Noni. Lucu,ya.

Ketika emaknya Alwi meninggal, dia telepon saya di Jakarta. “Induk meninggal,” katanya tersedu-sedu. Emak Alwi di bulan-bulan awal terbitnya Fajar banyak membantu finansial. Emak Alwi juga baik kepada saya. “Kau nikahlah, saya yang nikahkan.” Saya memang tidak memberi tahu bahwa sudah punya calon, yaitu isteri saya sekarang.

Tiga Pendekar

Dahlan Iskan dalam menyambut meninggalnya Alwi, menyebut tiga pendekar, yakni Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan Alwi Hamu. Sebetulnya ada tiga orang aneh. yaitu Alwi Hamu, Aksa Mahmud, dan Syarifuddin Husain. Ketiganya sepakat untuk tidak lulus sarjana. Mereka ingin sukses tanpa harus bersarjana.

Pesan mereka, anak-anaknya tetap harus selesai perguruan tinggi. Syarifuddin Husain sudah meninggal. Dia kakak dokter Farid Husain (alm). Farid salah satu anggota tim Jusuf  Kalla dalam mendamaikan Poso, Ambon dan Aceh.

Tiga gedung tinggi di Makassar: Graha Pena (Alwi Hamu), Wisma Kalla (Jusuf Kalla), dan Bosowa (singkatan Bone, Soppeng, dan Wajo, Aksa Mahmud, Jl Sudirman, Karebosi).

Itulah. Tokoh-tokoh yang baik akan meninggalkan gading yang tak retak. (SSecip)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU