Daun Mati Gantung Diri

“…Kalau nanti anak kita bertanya, di mana Ayah ketika kitab suci kita dinistakan?‟
maka dengan bangga kita akan berkata, “Nak, Ayah ada di antara barisan orang-orang yang berdemo di Ibu Kota supaya si penista kitab suci segera diadili”

Sepertinya Khoir sangat bahagia karena serentet tulisan motivasi yang dikirimkannya ke berbagai grup dan personal di Whatsapp akan membantu umat Islam untuk sadar akan kemuliaan unsur-unsur sakral dalam agama terutama kitab suci.

Agar bergerak jangan mau ditunjuk-tunjuk oleh pihak-pihak yang menjadi musuh dalam selimut mengangkat pemimpin beriman dan amanah serta tentu saja agar pemerintah segera mengadili si penista agama.

Khoir sangat bergairah dalam perkara ini, dadanya bergelora dan telah menemukan celah untuk melampiaskan kekesalannya kepada orang yang telah semena-mena dalam ucap dan tindakan.

“Abi, Rohim nanti diajak ke Jakarta juga?” seru istrinya dari dapur ketika anaknya yang baru berusia dua setengah tahun itu merengek ingin jajan.

Dari ruang tamu, di atas sofa depan televisi yang menayangkan berita mengenai akan diadakannya demo damai di Ibu Kota. Sambil menelan roti yang di dorong seteguk kopi Khoir berkata, “Kita ajak, Mi. Biar Rohim tahu bahwa umat Islam itu besar. Biar Rohim tahu agama yang dibelanya itu patut dibela,” istrinya manggut-manggut sambil menggendong Rohim untuk mengajaknya ke warung.

Khoir kembali mengunyah sisa roti lalu didorongnya dengan seteguk kopi lagi, lagi dan lagi hingga habis. Rupanya ia dirasuki ide untuk segera berkemas mempersiapkan bekal nanti ke Ibu Kota.

Di sana pasti penuh sesak, jalanan akan disemuti ratusan ribu manusia dari berbagai harakah dan organisasi. Suaranya sangat diperlukan untuk bertakbir, menyambut lantang dari setiap orasi menyebutkan nama si penista kitab suci agar pemerintah segera mengadilinya dan itu pasti tak kecil dan sedikit energi yang dikeluarkan.

Tenggorokannya akan sakit dan mungkin akan mengalami serak beberapa hari setelahnya. Maka untuk mengantisipasi itu, Khoir mempersiapkan semuanya dimulai dari makanan dan minuman kecil sekadar pengganjal perut hingga obat-obatan herbal sebagai penyangga kesehatan.

- Iklan -

Tentu saja Ibu Kota bukan gunung berhutan yang untuk mendakinya perlu stok makanan yang banyak. Ibu Kota segala ada, dari makanan ringan hingga berat, yang penting ada uang. Maka Khoir mengecek isi dompet elektroniknya dan mencocokkannya dengan estimasi biaya yang mesti dikeluarkannya.

Telepon pintarnya bergetar serta mengeluarkan nada dering berbau positif. Dilihatnya kontak si penelepon, oh rupanya kolega di Jakarta. Mulutnya memeras disertai kerut dahi yang berlipat-lipat banyaknya.
“Ya, halo,” ucapnya.
“Mas Khoir, bagaimana dengan pemesanan baju saya?” kata si penelepon.
“Maaf, ini terakhir kalinya kita berinteraksi. Nampaknya urusan kita sudah selesai sampai di sini,”
“Lalu, bagaimana dengan bisnis jangka panjang yang sempat kita rencanakan bulan lalu?” protes orang di seberang sana dengan logat seperti di iklan layanan yang menjargonkan cintailah produk-produk Indonesia itu.
“Maaf, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan,” lalu telepon ditutup.

Khoir menyandarkan punggungnya di badan sofa yang empuk dan melepaskan napas panjang seolah mengalirkan air bah yang lama terbendung. Kini ia lega, seorang musuh dalam selimut telah tersingkir dari kehidupannya.

Ia kembali mengambil telepon pintar itu, mencari kontak si penelepon tadi dan memasukkannya dalam daftar kontak yang diblokir. Lalu dibukanya aplikasi Whatsapp Bisnis dan diketahui ratusan orang telah mengirimkan pesan orderan pakaian yang menjadi bisnisnya.

“Tanpa aseng asing pun bisnisku bisa lancar” gumamnya, sembari membalas satu persatu pemesan yang antre untuk mendapatkan produknya. Namun di antara pesan yang hampir paling akhir, ia tak mendapati format pemesanan yang biasa diiklankan di pasar maya yang menjadi tempatnya berdagang.

Pesan itu berbunyi, “Khoir, aku menanggung malu mengirim pesan ini. Tapi apa daya, bapak ibuku kedinginan karena rumahnya ambruk oleh pergeseran tanah setelah diguyur hujan lebat disertai angin kencang sehari dua malam. Untuk itu, barangkali kau ada lebih uang. Kaupun tahu, berapa gajiku minggu depan karena kita sempat bekerja di kantor yang sama. Iya, memang gajiku cair minggu depan, hanya hitungan hari tapi ini mendesak. Ibu dan bapakku tak punya tempat selain di tempat yang hancur itu.”

Khoir termenung sejenak lalu membalas, “Darma kawanku, aku belum cek rekeningku. Kemarin lusa ada pemotretan produk baru semuanya habis 49 juta. Tampaknya belum ada pemasukan lagi. Tapi kalau ada, aku minta foto-foto atau video kejadian pergeseran tanah dan hancurnya rumah orang tua kamu. Aku sudah dengar di berita tentang pergeseran tanah di wilayah karst Citatah. Ada banyak rumah yang hancur. Tapi tak kusangka orang tuamu menjadi korban juga. Barangkali aku bisa menggalang dana di Instagram. Mungkin tak banyak, tapi semoga bisa membantu. Maklum, pengikutnya baru tiga puluh ribu-an lebih,”

“Tapi kau bisa memberiku pinjaman?” balas Darma
“Aku tak janji,”

Dan itu komunikasi terakhir mereka. Sepasang kawan itu tak pernah lagi bertemu, tak lagi berinteraksi.

***

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU