Daun Mati Gantung Diri

Matanya nanar, entah ke mana ia memandang. Jalanan seakan kosong tanpa orang lain yang berlalu. Ia tak melihat orang-orang yang melintas di sekitarnya. Kakinya yang menjadi kompas bagi arah yang dituju. Meski demikian kebiasaan tak akan lantas hilang. Ia tahu jalan pulang.

Itu malam telah larut, hampir tengah malam. Di depan rumah diketuknya pintu perlahan, takut orang lain terganggu. Ia pun memanggil-manggil istrinya dengan suara hampir berbisik. Walau begitu, istrinya tipe wanita yang sangat peka suara. Dengan mata yang masih mengantuk, istrinya yang kurus tinggi itu pun membukakan pintu. Mata mereka saling pandang. Saling menebak antara satu dengan yang lain.

“Saya ngantuk, Bu,” katanya dengan suara sangat lirih.

Sang istri cemberut seakan tak terima kepulangan suaminya hanya untuk tidur.

“Ibu jagain anak-anak, saya besok ada kerjaan. Terutama Yana, jangan sampai bangun sebelum saya pergi,” ujarnya lagi sambil mengambil selembar sarung dan sebuah bantal lalu pergi menuju kursi panjang yang bantalannya menyisakan kainnya saja.

“Maksud Bapak?” istrinya protes.
“Ibu tidur saja dulu, mudah-mudahan besok ada jalan keluar” kilahnya kemudian.
“Bapak tidak paham!” lolong istrinya, seketika itu telinga yang diprotes bersiap memanas. Ia tahu, kata-kata yang keluar tak akan santun, tak enak didengar, tak indah, tak romantis, tak pantas, tak perlu didengarkan meski terpaksa harus didengar.

Bila sudah seperti itu, mulut sang istri tak akan berhenti sampai di situ. Ia akan memperdengarkan suara sesegukan tepat di lubang telinganya, menggigit pundak dan punduknya, memukul hingga mencakar.

Ia akan bertanya,
“Kenapa tak cari pekerjaan tetap?”
“Kenapa gak ikut saja si anu jadi ini, jadi itu…?”
“Kenapa… kenapa… kenapa?”.

Telinganya bagai rumah orang tuanya yang berada di pusaran merah Karst Citatah tepat ketika bencana melanda. Merasakan angin kencang beserta hujan lebat mengguyur sehari dua malam berikut gelegar petir mengilat-ngilat merasakan pula fondasi alami batu dan tanah yang telah goyah setelah sekian lama ditambang orang dari generasi ke generasi, bergeser dan membawa bangunan di atasnya. Retak, bergetar dan rubuh!

- Iklan -

Matanya memejam serapat-rapatnya. Mungkin harus pula mata dan telingannya dilumuri perekat agar tak lagi terbuka atau buta dan tuli saja sekalian. Agar tak perlu pula mendengar sekaligus melihat. Seketika itu pula ia sangat bersyukur kalau saat itu menjadi seorang yang buta dan tuli.

Di saat yang sama, ia terpikir untuk bercerai dengan wanita yang telah dinikahinya enam tahun lalu itu. Akan tetapi, Yana adalah buah hati yang terlampau sayang apabila ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama. Si Jago, begitu ia memanggil terlalu dekat dengan bapaknya. Bercerai berarti kecewa, sedangkan ia tak ingin mengecewakan.

Ia ingat juga Indah, istrinya itu dahulu wanita yang sangat cantik yang dikenalkan Khoir di depan masjid. Lemah lembut dan penuh pesona. Ia sangat bersyukur kala itu, ketika Khoir baru sebulan menikah dan masih menumpang tinggal di rumah ibunya di Cipatat. Dipusaran kasrt Citatah. Ah, Khoir pikir Darma, setahun menumpang hidup di rumah orang tuaku ketika hidup susah, rupanya tak lantas melembutkan hatimu membantu orang yang membantumu ketika ekonomimu membaik.

Ketika teriakan itu semakin memekik, kekesalannya tumbuh, mengecambah dengan sangat cepat, kepada istrinya dan terutama kepada Khoir. Tak peduli dahulu pernah mengajari Darma mengaji, Khoir adalah pria tak tahu diri. Pendidikannya memang tinggi, kuliah di universitas Islam kenamaan, pintar berbahasa Arab dan suka berceramah, Darma tetap menganggap Khoir sebagai musang berjubah domba. Hingga sebuah bisikan terdengar halus di telinganya, “Darma, inikah agama itu, Darma?”

Kemudian pikirnya melayang pada bagaimana nasib bapak dan ibunya yang sedang mengalami musibah perlu pertolongan dan pertolongan itu mestinya hadir pertama kali dari anaknya sendiri.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU