Daun Mati Gantung Diri

Mungkin ketika ia mengambil telepon genggam dan menulis sms, “Mak, Pak, maaf saya belum ada uang…”, maka jadilah ia anak durjana pada orang tuanya, anak durhaka calon pasti penghuni neraka jahanam. Sebab di rumah mertuanya, istrinya masih punya sebuah sepeda motor yang lunas tiga bulan lalu, dua kompor gas siap pakai, tiga buah penanak nasi elektronik hadiah pernikahan dulu yang belum dipakai, laptop, telepon pintar milik istrinya dan alat pelangsing elektronik.

Ia melayang ke angkasa, mencoba menemui Tuhan. Ia ingin mengetahui, manusia di golongan manakah ia dikategorikan; diridhai atau dimurkai. Ia pula akan bertanya apa maksud Tuhan menjadikan nasibnya senestapa itu. Tapi Tuhan tak mudah dijumpai. Perlu maqom khusus yang harus dijalani untuk sampai kepada-Nya dan bagi dirinya itu mustahil.

Namun ia ingat satu tempat yang pernah diceritakan gurunya sewaktu kecil, bahwa di atas sana ada sebatang pohon raksasa yang sangat rimbun daunnya. Pohon itu tak berbuah sama sekali, dan tak mungkin berbuah, sebab dedaunan di pohon itu hijau bukan karena fotosintesis, melainkan karena “usia”.

Daun itu penanda usia manusia di alam fana. Di setiap daun ada satu nama ketika daun itu tumbuh, lahirlah seorang manusia. Daun itu akan hijau sebagaimana hijau daun yang baru tumbuh. Seiring waktu hijaunya semakin kentara, tua dan pudar lalu menguning. Jika sudah menguning daun itu akan terlepas dari rantingnya. Itu berarti satu manusia telah habis usia. Tapi tak sedikit pula daun hijau sudah terlepas dari rantingnya, bahkan banyak yang baru tumbuh dan tak sempat mekar sudah pula terlepas. Ia kemudian melayang mencari pohon itu, mencari-cari di daun yang mana namanya tertulis, dan sehijau apa kondisinya.

Setelah sampai di depan pohon yang mirip beringin itu, ia tak langsung mencari sebab betapa rimbunnya daun itu. Ia memandangi dengan seksama bentuk rimbun daun dari pohon itu, menyerupai lengkung payung. Rupanya daun-daun itu mengelompok-kelompok berbentuk pulau-pulau. Ada yang kecil, yang besar dan titik-titik yang berserakan di antara kelompok- kelompok besar. Ia putari pohon itu dari timur ke barat dan berhenti di satu kelompok daun yang membentuk pulau Jawa. Ia mendekat dan menghampiri bagian barat dari pulau itu.

Menelusup ke rimbunan daun dengan sangat hati-hati, khawatir ada daun yang tersentuh dan jatuh. Ia mencari-cari, lagi dan lagi, kemudian ia sampai di satu bentuk yang sangat ia kenal. Mencari satu persatu. Lalu ia temukan daun yang bernama “Yana”, masih hijau terang warnanya, lalu “Yesi”, baru saja tumbuh, warnanya pun masih hijau transparan, mereka masih kanak-kanak. Tentu ia ingat sewaktu keduanya lahir dan disaksikannya secara langsung. Lalu ia menemukan nama “Indah”, istrinya, warna hujau daunnya telah mengentara.

Ia menemukan banyak daun yang ia kenal tapi tak satu pun ditemukannya daun yang tertera namanya. Ke manakah ia? Akankah daun itu ada di antara yang berguguran? Ia terhenyak dan langsung turun ke tanah, mencari-cari di antara yang berserakan. Pasti lebih sulit sebab itu daun berada di datar yang sama di antara dedaunan yang telah menimbun dari masa ke masa, dari kelompok yang berbeda-beda dan dari zaman manusia pertama. Tapi ia menebak warna daun miliknya dan waktu terakhir yang dimilikinya. Tapi ia pun dibuat menyerah. Mungkin saja ia memang telah berada di antara daun yang berserakan itu.

Ia melayang dalam keputusasaan dan duduk di salah satu cabang pohon itu. Menekuri nasibnya yang bahkan tak disangka. Kepalanya merunduk dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur dan dadanya sesak. Namun kemudian ia terkejut mendapati selembar daun yang terhimpit di antara cabang dahan yang menjepit. Disekanya air mata yang mengalir di pipi lalu mengambil daun itu. Ada namanya di sana, di daun yang telah terlepas dari rantingnya.

***

- Iklan -

Siang menjelang sore, seorang anak SD baru pulang dari sekolah, berlari sambil mengapit selembar koran di ketiaknya menuju rumah. Sepatunya dilepas tanpa membuka kaus kaki lalu buru-buru menghampiri lelaki paruh baya yang sedang duduk di atas sofa menyeruput secangkir kopi di depan meja yang tersaji roti di depan televisi. Ada berita nasional yang menarik hatinya.

Si anak yang masih terengah-engah lalu berkata kepada lelaki yang sedang duduk itu, “Abi, kenal sama Mang Darma?”

Yang dikatai berhenti menyeruput kopi dan meletakkan cangkirnya tepat di samping roti.

Diambilnya remot dan dimatikannya televisi. Lalu berkata, “Memangnya kenapa?”

“Kata bapak-bapak di masjid Abi kenal dekat sama Kang Darma,” jawab si anak masih terengah-engah.

“Sini, duduk dulu, minum dulu,” kata lelaki yang rambutnya selalu klimis itu.

“Tumben nanyanya semangat kayak gitu, memangnya kenapa dengan Kang Darma?” lanjutnya sambil menggamit tangan si anak.

“Ini,” cetus si anak sambil menyodorkan selembar koran usang yang telah berlumuran minyak goreng bekas bala-bala. Koran itu cuma selembar dan usang, tapi judul dan isi berita mampu membikin si anak penasaran luar biasa dan membuat tangan si lelaki klimis bergetar hebat. Tujuh tahun lalu, isi koran itu bukan hanya membuat si lelaki klimis menangis, tapi juga seisi kota geger.

“Waktu kejadian itu, ketika Kang Darma mati gantung diri, Abi ada di mana?” Tanya si anak dengan mulut licin berlumur minyak sisa bala-bala yang baru saja selesai ditelannya.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU