Di hari pers nasional kemarin, siapapun berharap bagaimana perpersan kita ke depannya semakin lebih baik lagi. Khofifah Indar Parawansa, gubernur Jawa Timur, mempertegas ini dalam tulisannya yang dimuat di Jawa Pos kemarin, tertanggal 9 Februari 2022, Pers Indonesia dan Misi Penyelamatan Bumi.
Harapan mulia Khofifah dalam tulisannya itu adalah agar tugas pers tidak terbatas pada pemberitaan kejadian-kejadian belaka, tetapi “membantu publik memahami apa itu perubahan iklim dan kompleksitas isu yang melingkupinya.
Juga cara menghentikan laju perubahan iklim melalui langkah-langkah terstruktur, sistematis dan masif.” Pers, di mata Khofifah, harus ikut andil dalam permasalahan besar umat modern ini, yaitu mencegah—dalam istilah GM— “ancaman runtuhnya keseimbangan ekologis.”
Dari tulisan Khofifah bisa dibuat kesimpulan sederhana bahwa media kita meskipun bukan dalam artian tidak ada sama sekali, setidaknya tidak dominan dalam upaya informasi dan edukasi ekologi pada publik.
Namun hemat saya, media kita selama ini telah melakukan performa terbaiknya, terutama dalam menangkal hoax, meningkatkan kesadaran politik dan ekonomi, mengedukasi gaya hidup sehat, dan sedikit persoalan ekologi.
Di tambah lagi, di tengah pandemi yang kita membutuhkan informasi terbaik tentangnya, selama ini, pers telah menjadi komunikator paling tanggap sekaligus berusaha menyajikan informasi soal Covid-19 tervalid dari narasumber utamanya (dokter, pakar virologi, dan Kemenkes.) pada masyarakat luas.
Tugas yang diberikan Khofifah itu, sekali lagi, merupakan harapan banyak orang. Namun persoalannya, apakah benar demikian? Bukankah di tengah gencar-gencarnya pers menginformasi dan mengedukasi soal Covid-19, sejauh ini kita tidak akan lupa terlalu banyak mereka-mereka yang tidak percaya bahwa Korona benar-benar ada, dan meyakini vaksin sebagai bentuk genosida? Teori-teori konspirasi lebih diamini daripada fakta-fakta sajian pers.
Alhasil, penolakan vaksin terjadi di beberapa tempat, dan tuntutan administratif negara (seperti membuat SIM, dst) yang mengharuskan membawa tanda telah divaksin, membuat mereka melakukan praktik jual-beli kartu vaksin.
Maka sebelum melangkah lebih jauh pada edukasi lain sebagaimana harapan gubernur, pers perlu bertanya pada dirinya sendiri: masihkah pers dipercaya sebagai rujukan informasi oleh publik?
Saya pribadi tidak punya data valid dan belum pernah melakukan riset yang sanggup menjawabnya. Nyatanya, tulisan ini tidak akan berusaha menjawab secara spesifik pertanyaan itu, tetapi akan mengurai beberapa faktor yang membuat mengapa pers tidak lagi menjadi rujukan dalam memperoleh informasi.
Matinya Pers?
Pertama, hampir setiap orang hari ini punya akses penuh pada lautan informasi di internet, yang artinya tidak hanya menikmati berita-berita yang ada, tetapi juga ikut membuat informasinya sendiri di dalamnya.
Sialnya, mereka tidak punya literasi media yang mumpuni sehingga kerap kali termakan berita palsu, terprovokasi ujaran kebencian, dan dikecoh bingkai (framing). Seakan semua yang terpampang di internet adalah fakta, lalu disebarkan secara barbar.
Kecenderungan seperti ini tampak jelas di media-media sosial seperti Whatsapp, Facebook, dan Instagram di mana dengan mudah mereka mengunggah status heboh dan berdebat panjang tentang hal-hal yang tidak diketahui kebenarannya.
Kita tidak akan lupa kelucuan kemarin, saat banyak orang meyakini bahwa makan telur rebus tengah malam merupakan cara agar kebal dari serangan Covid-19 hanya karena menonton video bayi bisa bicara yang tersebar di WA.
Medsos secara tanpa sadar telah menjelma sebagai referensi pengetahuan, padahal algoritma mereka tidak akan menuntun pada apa yang benar, tetapi populer atau yang pada Anda sukai.
Bagikan: