Fenomena tadi dapat kita istilahkan dengan “medsosisme”. Tanpa menyadari bagaimana kualitas diri dalam mengolah informasi dan tanpa memedulikan kebenarannya, sekarang siapa pun membicarakan apa pun seakan mereka adalah pakar, sekaligus mereka yang memperoleh informasi dari orang seperti itu mudah mempercayainya dan siap berdebat mempertahankan informasinya itu di hadapan orang lain.
Kedua, kekalutan akibat banjir informasi, tingkat literasi media rendah, dan algoritma, semakin diperkeruh oleh pendapat sosok otoritas.
Di desa-desa ada banyak kiai yang tidak percaya bahwa Korona itu ada dan dirinya menolak divaksin. Tentunya, ia telah terpapar tiga hal tadi. Kebudayaan masyarakat desa yang sangat berpegang penuh pada otoritas kiai, membuat mereka ikut-ikutan apa yang diyakininya.
Sekitar dua bulan sebelumnya, kakek saya ikut demo ke kota karena diajak seorang kiai dalam rangka menolak vaksin. Beberapa orang kiai lainnya tidak sekasar itu, namun mereka terang-terangan menyatakan memiliki kartu vaksin yang diperoleh dengan cara membeli atau diberi salah satu anggota jamaahnya yang merupakan vaksinator.
Dalam struktur sosial-politik masyarakat desa, sosok otoritas seperti kiai tidak cuma dianggap digdaya di bidang keagamaan, tetapi juga di luar itu. Oleh karenanya, ia menjadi tempat berlabuh segala persoalan, dari perihal memilih pasangan, bertani, pendidikan, politik, dan seterusnya.
Pengetahuannya adalah kebenaran sehingga dalam melakukan penyaringan informasi, yang lolos adalah informasi yang sesuai dengan keyakinan kiai. Di sini kebenaran informasi diukur melalui kesesuaian; kecocokan dengan pikiran subjek tertentu.
Akhirnya, dua faktor ini yang menyebabkan “pers mati” atau dalam bahasa lain tidak lagi dijadikan rujukan di era pandemi ini. Orang-orang telah beralih dari pemberitaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berkompeten dalam jurnalisme ke status-status tidak jelas di medsos.
Di samping itu, masyarakat desa memang tidak pernah disentuh karena misalnya tingkat minat baca rendah dan untuk berlangganan koran atau semacamnya dianggap kurang penting, ditambah lagi sumber informasi mereka adalah figur otoritas, bukan media- media pemberitaan.