“Dunia itu seluas langkah kaki, jelajahi dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu, kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.” – Soe Hok Gie
Oleh: FADLY ANUGRAH
Jam menunjukkan pukul 05:00 Wita, setelah 18 jam di terjang ombak yang lumayan menakutkan, akhirnya kapal yang membawa saya ke Labuan Bajo bersandar di pelabuhan Manggarai, Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Setelah berdesakan dengan penumpang lain, saya dan Alim, teman saya, akhirnya bisa turun dari kapal dan menginjakan kaki di tanah Flores. Sambil membawa carrier yang berisi pakaian dan alat mandi ditambah sedikit logistik alat pendakian, rasanya punggung ini menanggung 30 kg, lumayan berat.
Kami berjalan meninggalkan pelabuhan menuju masjid terdekat untuk membersihkan badan. Saya dan Alim tidak langsung memesan penginapan karena budget perjalanan kami tidak begitu banyak, sedangkan kami harus berada di Labuan Bajo selama beberapa hari ke depan.
Camp di Bukit Sivia
Setelah beristirahat, kami berjalan mengelilingi labuan bajo dengan ditawari oleh warga untuk menikmati senja di Bukit Sivia, dengan mengendarai ojek. Sampai di Bukit Sivia setelah perjalanan 15 menit, kami disuguhkan sebuah bukit yang berbaris, mirip bukit teletubies di TV. Kami langsung ke Puncak Sivia setelah menanjak 300 meter, berdiri di puncak dan melihat pemandangan pulau-pulau kecil di sekitar Labuan Bajo.
“Sangat indah, tak ada seperti ini di Makassar,” saya bergumam. Sambil menikmati senja dengan segelas kopi panas, pemandangan menjelang magrib di Bukit Sivia sangat indah, langit pun berubah menjadi warna jingga, warna yang dirindukan para pecandu ketinggian. Kami pun langsung mengabadikan senja hari ini.
Ketika mulai gelap, saya dan Alim memutuskan untuk mendirikan tenda di Puncak Sivia ini. Keputusan untuk menginap di puncak ini memang benar, soalnya kami disuguhkan pemandangan hamparan berjuta bintang yang indah di langit malam hari.
Pagi keesokan hari, kami dibangunkan oleh rasa dingin yang menusuk masuk ke tenda. Segera saya bangun untuk menyalakan kompor memasak air, pemandangan sunrise di pagi hari memang harus dinikmati dengan segelas kopi.
Setelah seharian di Bukit Sivia, kami pun turun menuju ke pelabuhan untuk memulai trip mengelilingi pulau-pulau yang masuk destinasi wisata dunia. Dengan paket wisata yang ditawarkan, kami pun memilih ke Pulau Padar, Pink Beach dan Pulau Komodo yang mana tiga pulau ini yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.
Sekitar jam 11 siang kami meninggalkan dermaga menuju Pink Beach. Dalam perjalanan, kami disuguhkan air laut yang sangat jernih sehingga ikan-ikan dengan jelas terlihat berenang bebas.
Setelah sejam berlayar, kami pun sampai di pantai yang pasirnya berwarna pink ini. Sangat indah, matahari yang tepat berada di atas kepala kami, sudah tidak terasa panasnya. Saya dan Alim pun langsung segera melompat dan langsung menuju ke pinggir pantai.
“Saya tidak merasakan panas di sini, kawan,” kata Alim.
Mungkin kita telah bersahabat dengan matahari. Setelah puas berenang di bawah teriknya matahari, kami pun bergegas untuk naik ke kapal dan melanjutkan pelayaran ke Pulau Komodo, pulau yang wajib dikunjungi wisatawan Labuan Bajo.
Bertemu si Komo
Tiba di Pulau Komodo, kami pun langsung ditemui para pemandu wisata, kemudian melakukan breafing untuk menjelaskan tata tertib pengunjung di pulau ini. Kami diberitahu agar selalu berhati-hati, sebab Komodo masih banyak yang belum jinak. Sedangkan Komodo, hewan yang sangat berbahaya mempunyai kandungan bakteri di lendirnya.
“Varanus komodoensis, komodo merupakan spesies biawak terbesar dari familia varanidae. Hewan ini suka menyendiri dan pandai berkamuflase, hewan langka ini hanya berkumpul pada saat makan dan berkembang biak, hati-hati dengan lendirnya karena mengandung banyak bakteri,” kata pemandu wisata.
Setelah breafing, kelompok kami dipandu oleh 1 ranger. Kami diajak untuk berkeliling pulau mencari si Komo, nama hewan yang populer lewat lagu anak-anak itu. Setelah 20 menit berjalan melalui hutan yang bisa dibilang vegetasinya masih rapat, akhirnya kelompok kami menemukan seekor Komodo yang sedang asyik tidur.
“Wah, ternyata Komodo sangat besar, lebih besar dari batang pisang,” kataku. Sebagai seorang yang pertama kali melihat hewan seperti itu, saya dan Alim pun langsung meminta tolong kepada ranger untuk mengabadikan momen tersebut dengan duduk di belakang Komodo untuk berfoto.
“Jika ingin mengambil foto, jarak yang harus dijaga 2 meter dari jarak Komodo karena hewan ini sangat berbahaya,” kata pemandu mengingatkan kami.
Setelah 500 meter berjalan kaki mengelilingi Pulau Komodo, akhirnya kelompok kami sampai di titik terakhir rute perjalanan, kami disuguhkan banyaknya penjual hiasan cendramata oleh penduduk asli yang dijual kepada wisatawan.
Sore hari, kami meninggalkan Pulau Komodo dan berlayar ke destinasi yang paling disukai oleh wisatawan, yaitu Pulau Padar. Pemandu kapal mengatakan, kami akan menikmati sunset di sana.
Perjalanan menuju Pulau Padar ditempuh selama 90 menit, melewati laut lepas Australia yang sangat menegangkan. Kapal yang membawa kami sangat terasa terguncang akibat ombak besar, tetapi ABK dan nahkoda kapal hanya tersenyum. “Santai, area sini memang begini, ombaknya besar. Nanti 100 meter ke depan, ombaknya sudah kecil,” kata ABK-nya.
Setelah melewati pelayaran yang menegangkan, kami pun tiba di Pulau Padar. Sebelum masuk ke pulau ini, kami di-breafing dulu untuk tata tertib pulau. “Jangan merusak tumbuhan yang ada di sini, jangan membuang sampahnya sembarangan.
Ketika kalian menemukan rusa di sekitar pulau ini, bisa langsung difoto tapi jangan diganggu dan jika kalian ingin melihat seluruh keindahan pulau ini, silahkan naik ke puncak lewat jalur yang telah disediakan.”
Saya dan Alim langsung segera berjalan mengikuti rombongan lain. Jalur ke puncak lumayan menanjak dan melelahkan, kita disuguhkan bukit-bukit kecil di sebelah kiri-kanan. Untuk menuju ke puncak, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit jika berjalan dengan santai.
Sebagai seorang yang hobi mendaki, saya pun merasa lelah melewati jalur ke puncak pulau ini. Tetapi setelah tiba di puncak, rasa lelah terbayar dengan keindahan pulau ini. Sungguh indah sekali pemandangan pulau ini.
Saya terdiam beberapa menit, takjub melihat keindahan salah satu pulau kecil yang berada di timur Indonesia ini.
“Nikmat mana lagi yang kau dustakan,” kata Alim yang terengah-engah lelah, di hadapan saya. Sungguh indah Pulau Padar, pulau yang mempunyai 3 garis pantai yang membuatnya unik, tebing tinggi membuat bentuk pulau ini semakin indah dipandang. Bukit-bukit yang berbaris di bawah sangat memanjakan mata, wajar jika pulau ini masuk dalam destinasi utama dalam berwisata di Labuan Bajo.
Saya pun segera duduk di sebuah batu di puncak untuk menikmati senja yang akan segera dating. Saya tidak boleh menyia-nyiakan waktu ini, saya harus menikmati tempat ini. Alim segera berdiri lalu mengabadikan momen ini.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, kami disibukkan oleh skripsi dan tugas-tugas akhir di kampus. Maka untuk menenangkan pikiran dari hiruk pikuk perkotaaan dan tugas-tugas akhir yang biasa menyebalkan, maka saya dan Alim memilih Labuan Bajo sebagai tempat untuk melepas kejenuhan. Sebelum kami selesai kuliah dan masuk dunia kerja, yang pastinya membuat kami tidak mempunyai waktu untuk melakukan hal seperti ini.
Untuk menutup cerita petualangan di Labuan Bajo, saya pun teringat kata Seno Gumira Ajidarma. “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat dan kehidupan seperti mesin, yang hanya berakhir dengan pensiun tak seberapa.”
Saya pun mungkin kelak akan merasakan kehidupan seperti itu, saya harus menyiapkan diri, agar tetap menjadi muda dan tua yang penuh kenangan yang menyenangkan. (*)