Dosa Besar Mengaku Keturunan Rasulullah Tanpa Bukti

Pengakuan seseorang bahwa dirinya termasuk keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tanpa bukti yang jelas, merupakan salah satu dosa besar.

Syeikh Abdul Muhsin al -Abbad hafizhahullah dalam Fadhlu Ahli al -Bait hal. 82 – 83 mengatakan, ” Nasab termulia adalah nasab Nabi kita, Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Dan penisbatan termulia adalah penisbatan kepada beliau shallallahu alaihi wasallam dan kepada ahli bait beliau, jika penisbatan tersebut benar adanya.

- Iklan -

Telah banyak terjadi di negeri Arab dan selainnya, penisbatan kepada nasab yang mulia ini. Barang siapa yang memang termasuk ahli bait, dan dia mukmin, maka sungguh Allah telah mengumpulkan baginya, antara kemuliaan Iman dan kemuliaan nasab.

Namun, barang siapa yang mengklaim, nasab yang mulia ini, sedangkan dirinya bukanlah bagian darinya, maka sungguh dia telah melakukan tindakan yang haram. Dan termasuk orang yang berprilaku dusta, terhadap sesuatu yang tidak dimiliki.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “orang yang (berpura pura), berpenampilan dengan tidak diberikan sesuatu kepadanya, bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan)” (HR Muslim nomor 2129 dari hadist Aisyah radhyallahu anha).

- Iklan -

Terdapat dalam berbagai hadist yang shahih, haramnya penisbatan diri seseorang kepada selain nasabnya. Diantaranya adalah hadist Abu Dzar radhyallahu anhu. Bahwasanya, dia mendengar Nabi SAW bersabda, “Tidak seorang pun yang mengaku (orang lain sebagai ayahnya.

Baca Juga:  Malaikat Mendoakan Orang yang Berada di Dalam Masjid

Tempatnya di Neraka

Padahal dia tahu (kalau orang itu bukan ayahnya). Melainkan telah kufur kepada Allah. Barang siapa yang mengaku ngaku keturunan sebuah kaum, padahal dia tidak bernazab kepada mereka, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. (HR Bukhari nomor 3508 dan Muslim nomor 112. Lafadz hadist tersebut milik Bukhari).

- Iklan -

Suatu tindakan yang baik, jika kalangan ahli bait, menjaga kemurnian nasab mereka. Yaitu, hanya menikah dengan sesama ahli bait. Akan tetapi, yang keliru adalah, ketika melarang wanita keturunan ahli bait, untuk menikah dengan seorang pria yang memiliki agama dan akhlak yang baik.

Hingga wanita tersebut menjadi “perawan tua”. Dengan alasan, pria itu, bukan keturunan ahli bait. Hal ini bertentangan dengan penghulu ahli bait.

Rasukullah SAW bersabda, “Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaklah kalian menikahkan orang tersebut, dengan wanita kalian.

Bila kalian tidak malakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar” (HR at -Tirmidzi nomor 1084. Dihasankan oleh Syaikh al -Albani dalam ash -Shahihah nomor 1022).

Demikian pula hal ini bertentangan dengan tindakan Amir al Mukminin, Ali radhyallahu anhu yang menikahkan anak perempuannya Ummu Kultsum dengan Umar bin Khaththab radhyallahu anhuma yang sama sekali, bukanlah keturunan ahli bait.

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Selasa, 24 September 2024: Persiapan Melayani (1): Mempersilakan Diperiksa oleh Firman Allah

Salah satu aqidah ahlu as – sunnah, adalah meyakini bahwa ahli bait tidaklah ma’shum. Penghulu para ahli bait Rasulullah SAW pun pernah keluru hingga ditegur oleh Allah Taala. lihat surah Abasa 1-10).

Bahkan secara tegas Nabi menyatakan bahwa, setiap manusia, tidak terlepas dari kekeliruan. Dalam hadistnya, Nabi SAW bersabda, “Setiap anak Adam, pasti pernah bersalah dan sebaik baik orang yang bersalah, adalah orang orang yang bertaubat” (Hasan HR Ibnu Majah nomor 4251).

Jika demikian keadaan Rasulullah SAW maka mereka yang kedudukannya di bawah beliau, meski termasuk ahli bait, lebih bisa melakukan kesalahan. Akidah tersebut, tidaklah sejalan dengan klaim sebagian kalangan yang menyatakan kema’shuman ahli bait.

Itu pun dengan pengertian yang ghuluw. Yaitu, mereka ahli bait terlepas dari segala kesalahan, baik yang besar, maupun yang kecil. Serta terbebas dari lupa.

Jika kita memperhatikan firman Allsh di surah al -Ahzab ayat 33, dimana Allah berfirman, ” Dan sebersih bersihnya”, kita dapat bertanya, jika sekiranya mereka mas’shum, mengapa Allah mesti meyucikan mereka ? (Berlanjut/ana)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU