Dua Tali Tandu

Pagi mulai menampakkan sinarnya. Tetes embun masih melekat, menempel di rumput dan bunga-bunga. Di depan pekarangan rumah, wanita itu duduk di kursi goyang, duduk hanya untuk melamun. Bukan untuk menikmati pagi. Tatapan matanya kosong, tubuhnya yang kurus tak terurus menandakan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Murnah, sebagian orang biasa menyebutnya begitu. Berbeda kalau tetangga yang tidak menyukainya, mereka lebih senang memanggil dengan sebutan orang gila. Ya, memang seperti itulah adanya.

Rambut Murnah yang kusut, badannya yang bau karena tidak pernah mandi, kebiasaannya yang sering mengamuk, menangis dan berbicara sendiri itu, mungkin bagi yang belum kenal dia pasti sependapat dengan para tetangga Munah yang tidak suka kepadanya itu. Pasti kamu juga kalau melihatnya akan berpikiran bahwa Munah adalah benar orang gila.

Murnah memang terkena penyakit gangguan mental. Semenjak anaknya wafat, ia jadi depresi. Ia merasa tidak layak dan sudah gagal menjadi orang tua. Padahal, sebelum penyakit kejiwaan itu menimpanya, Murnah adalah seorang wanita yang hidup berkecukupan.

Suaminya, Martono, adalah seorang pengusaha tebu ternama di Jawa Tengah. Anaknya, Edward, yang sudah wafat, ia lulusan Harvard dan bekerja sebagai seorang dosen muda di Universitas Karep Dewek.

Penderitaannya dimulai semenjak kepergian anaknya, Edward. Perlahan-lahan kebahagiaannya mulai hancur. Suaminya, Martono, memilih pergi meninggalkannya karena tidak mau mengurusinya. Martono gengsi kalau-kalau temannya tahu dia memiliki istri yang kurang waras.

Menurut kabar dari tetangga, Martono kawin lagi dengan janda kembang di kampung sebelah. Kadang-kadang, ia mampir ke rumah lama hanya sekadar untuk mengenang anaknya Edward.

Di saat-saat seperti itu penyakit kejiwaan Murnah bisa mencapai batas maksimal. Terlebih saat si istri baru Martono meludahi wajahnya, Murnah hanya bisa meneteskan air mata. Mungkin Murnah bisa disebut sebagai seseorang yang edan eling (Kadang waras, kadang gila) itu artinya Murnah masih punya perasaan.

Baca Juga:  Kisah Perang Tiga Raja yang Meruntuhkan Imperium Portugal

Keadaan ini membuatnya semakin tertndas dan merasa sudah tidak berharga lagi. Tidak ada orang yang mau memberinya makan karena banyak gosip palsu yang beredar dari tetangga. Mereka mengatakan kalau dia adalah orang gila yang galak, sering mengamuk, itu sebabnya seluruh warga takut untuk menjumpainya.

- Iklan -

Hanya air keran yang masih bisa dipergunakan untuk ia menyambung hidup, terkadang Murnah memilih untuk memakan apa saja yang ia temui. Hewan sejenis cecak, kecoa, dan tikus, biasanya dimakannya hidup-hidup. Karena rasa lapar yang berlebihan.

Murnah selalu mengingat apa yang telah ia perbuat kepada anaknya. Ia menyesali perlakuannya itu. Murnah terlalu mengekang Edward, terlalu mengatur-atur anak semata wayangnya itu. Alhasil, Edward jadi prustasi dan memutuskan untuk bunuh diri.

Hal itu kemudian yang saat ini selalu menghantuinya. Rasa bersalah yang selalu menjadi alasannya untuk malas melanjutkan hidup. Ia masih ingat betul kejadian hari itu, hari yang kelam bagi

hidupnya. Edward ditemukan mayatnya menggantung di sebuah pohon jengkol di atas bukit Kintamani pada saat mendaki. Ia melakukan kegiatan bunuh diri berjamaah dengan kekasihnya.

Hal itulah yang kemudian membuat Murnah merasa menyesal. Murnah tidak tahu kalau rasa cinta bisa mengalahkan apapun, itu sebabnya dalam cerita Romeo rela meminum racun demi Juliet.

Ia masih ingat awal pertamakali Edward berpamitan. Ia masih ingat wajah anaknya yang ceria tanpa kemarahan itu. Memang, awalnya Murnah menjodohkan Edward dengan anak saudagar sapi. Edward dipaksa agar melakukan pernikahan secepatnya.

Jika kejadian itu terlintas dalam kenangannya, biasanya Murnah mulai membentur-benturkan kepalanya ke badan tembok. Berusaha keras untuk bisa melumpuhkan ingatannya.

Baca Juga:  7 Mitos Seputar Kesehatan Perempuan yang Perlu Kamu Ketahui

“Pokoknya, kalau kamu tidak menikah dengan Saritem, jangan anggap aku ibumu lagi,” ujarnya, saat itu.

“Apa Ibu tidak sayang kepada anak?” tanya Edward, wajahnya memelas.

“Justru karena aku sayang, aku jadi mengaturmu”

“Ibu, apakah cinta bisa dipaksa? Nanti malah aku tak bergairah, Bu” “Ah, aku dan ayahmu juga awalnya begitu. Kami juga dijodohkan” “Terserah Ibu saja lah”

Saat itulah Edward memilih pergi dari rumah. Dengan menyembunyikan kekecewaan terhadap ibunya, Edward pamit untuk pergi mendaki bukit Kintamani. Saat itu, Mirna, kekasihnya sangat prustasi mendengar Edward akan menikah. Edwar dikirimi surat oleh Mirna agar pergi ke Kintamani.

Terkejutnya Edward saat itu ketika melihat kekasihnya Mirna, sudah menjadi mayat yang menggelantung di pohon jengkol. Di samping mayat Mirna, terdapat satu tali tandu dan sepucuk surat yang sengaja ia gantung untuk Edward. Tulisannya berisi “Jika kau mencintaiku, mari mati bersamaku”

Itulah awal mulanya Murnah mengalami gangguan jiwa. Hari demi hari ia lalui tanpa gairah. Rasa sakit, dikucilkan, menumpuk jadi satu di dalam otaknhya. Berkali-kali ia melakukan aksi untuk bunuh diri, akan tetapi gagal karena ia merasa takut. Merasa takut kalau nanti akan sakit. Ia lebih memilih menunggu mati yang sewajarnya.

Kesedihan terus muncul di setiap hari-harinya. Bahkan saat-saat terakhir ia wafat pun sangat menyedihkan sekali. Air keran di rumahnya sudah tidak mengalir, sengaja dipadamkan pemerintah karena ia tidak pernah. Kecoa, cecak, dan hewan lain sudah habis dimakannya. Murnah wafat karena sudh takdirnya. Jasadnya ditemukan dalam keadaan sedang memeluk kuburan anaknya.

Penulis : Alan Maulana

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU