Koalisi Jurnalis Peduli Penyiaran (KJPP) Sulawesi Selatan secara resmi telah mengajukan laporan ke Badan Kehormatan DPRD Sulsel, Kamis (6/6). Surat yang disampaikan berisi dugaan pelanggaran oleh Komisi A dalam proses seleksi komisioner KPID.
Muhammad Idris, Koordinator dari Koalisi Jurnalis Peduli Penyiaran (KJPP) Sulsel, menyatakan bahwa langkah ini diambil agar pimpinan DPRD Sulsel membatalkan penunjukan tujuh calon komisioner KPID Sulsel.
Hal ini disebabkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi A terhadap Pasal 5 nomor 4 huruf C dari PKPI Nomor 2 Tahun 2011 mengenai pedoman rekrutmen KPI, terutama saat proses uji kelayakan dan kepatutan.
“Kami menemukan beberapa dugaan pelanggaran aturan oleh komisi A DPRD Sulsel, jadi kami melapor ke BK,” kata Idris, Jumat, 7 Juni 2024.
Dia juga menyatakan bahwa Komisi A diduga melanggar Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib DPRD Sulawesi Selatan. Hal ini terbukti dengan pengumuman sepihak oleh Komisi A terkait nama-nama calon komisioner KPID, yang tidak dilengkapi dengan tanda tangan oleh pimpinan DPRD Sulsel.
“Secara kelembagaan harusnya ditandatangani pimpinan dulu baru nama-nama itu keluar ke publik,” ucap dia.
KJPP menyimpulkan bahwa proses seleksi calon komisioner KPID telah menghadapi masalah sejak awal, dimulai dari verifikasi berkas hingga uji kelayakan dan kepatutan yang diduga menjadi ajang transaksional.
Secara ironis, KJPP menemukan indikasi bahwa pejabat di Badan Kepegawaian Daerah Sulawesi Selatan terlibat dalam proses seleksi ini dengan motivasi yang meragukan. Bahkan, menurut Idris, pejabat tersebut menggunakan jurnalis untuk memenuhi keinginannya agar nama-nama yang telah ditetapkan oleh Komisi A segera disahkan oleh pimpinan DPRD Sulsel.
Temuan KJPP juga mencakup fakta bahwa dari tujuh nama calon komisioner yang ditetapkan oleh Komisi A, satu di antaranya masih memiliki status sebagai ASN dan belum mengajukan izin cuti.
Padahal, terdapat larangan terkait rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 88 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa PNS harus diberhentikan secara sementara jika memegang jabatan sebagai pejabat negara atau komisioner/anggota lembaga nonstruktural. Saat ini, aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Mana mungkin bisa menghasilkan komisioner yang berintegritas kalau jabatan ini dijadikan sebagai ajang transaksional,” tegas Idris.
Sementara itu, Pakar Komunikasi dari Unhas, Muliadi Mau, menyayangkan tindakan jurnalis yang melakukan wawancara dengannya hanya demi memenuhi kepentingan pribadi orang lain. Menurutnya, praktik semacam itu jelas melanggar kode etik jurnalistik, terutama ketika hasil wawancara tersebut digunakan dalam rilis pers.
“Yang berhak buat rilis itu lembaga atau orang yang bersangkutan (mewawancarai atas izin narasumber), bukan orang lain. Saya pribadi menyesalkan hasil wawancara saya kemudian dijadikan press rilis, secara pribadi saya mengecam praktik atau tindakan yang itu,” tambahnya. (*)