Efek Dari Makanan Halal Untuk Kehidupan

Ada empat tipologi makanan yang masuk ke lambung melalui mulut kita sehari-hari. Pertama, makanan yang haram zatnya dan haram pula cara memperolehnya. Kedua, makanan yang haram zatnya tetapi halal cara memperolehnya. Ketiga, makanan yang halal zatnya tetapi haram cara memperolehnya. Dan yang keempat, makanan yang halal zatnya dan halal pula cara memperolehnya.

Pilihan yang terbaik dan paling baik tentu saja tipologi yang keempat. Sejak kecil kita diajari doa ketika mau makan, Allahumma barik lana fi ma razaqtana waqina adzabannar. (Ya Allah, berkahilah kami pada rezeki (makanan) yang telah Engkau berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksaan api neraka). Alangkah indahnya dan mengandung filosofi yang tinggi doa tersebut. Ada berkah Allah, ada rezeki (makanan), dan ada berlindung siksaan api neraka.

Mengapa doa tersebut diakhiri dengan ”Jauhkanlah kami dari siksaan api neraka”? Hal ini berarti ada sebuah benang merah yang membuat korelasi antara makanan yang masuk ke dalam lambung kita dan adzabannar (siksa api neraka). Korelasi tersebut tampak benar dari cuplikan ayat berikut

كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي ۖ وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَىٰ

”Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa yang ditimpa kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah dia.” (QS Thaahaa [20]: 81).

Terdapat kisah yang inspiratif berkaitan dengan menjaga makanan  hanya yang halal saja. Halal dalam cara perolehannya. Yang diera kini tidak mudah untuk memilahnya. Berikut kisahnya.

Abdullah ibn Al Mubarak suatu hari berkata: “Aku akan mengerjakan perbuatan yang akan membuatku mulia”. Ia lalu menuntut Ilmu hingga menjadi seorang yang ‘Alim. Waktu ia memasuki kota Madinah, masyarakat berbondong-bondong menyambutnya. Ibu suri raja yang kebetulan menyaksikan kejadian itu bertanya: “Siapakah orang yang datang ke kota kita ini?”. “Ia adalah salah seorang ‘Ulama,” jawab pelayannya.

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Senin, 21 Oktober 2024: Sifat Impulsif Merintangi Perkembangan Kemuridan

Ia kemudian berkata kepada anaknya: “Perhatikanlah nak, bagaimana masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Tidak seperti kamu, kamu jika menginginkan sesuatu harus memerintah seseorang dulu untuk melakukannya”. “Tetapi, lihatlah orang itu. Mereka mendatanginya dengan sukarela”.

Abdullah ibn Al Mubarak sesungguhnya adalah anak seorang budak berkulit hitam bernama Mubarak. Budak ini betisnya kecil, bibirnya tebal dan telapak kakinya pecah-pecah. Walaupun demikian, ia adalah seorang yang sangat wara`. Kewara’annya ini akhirnya membuahkan anak yang saleh.

Dahulu Mubarak bekerja sebagai penjaga kebun. Suatu hari tuannya datang ke kebun dan berkata: “Mubarak, petikkan aku anggur yang manis”. Mubarak pergi sebentar lalu kembali membawa anggur dan menyerahkannya kepada tuannya. Setelah makan anggur itu, tuannya berkata lagi: “Mubarak, anggur ini asam rasanya, tolong carikan yang manis”.

- Iklan -

Mubarak lalu pergi dan kembali dengan anggur lain dan anggur itu dimakan oleh tuannya lagi. Untuk yang kedua kalinya tuannya berkata dengan nada kesal: “Bagaimana kamu ini, aku suruh petik anggur yang manis, tapi lagi-lagi kamu memberiku anggur masam. Padahal kamu telah dua tahun bekerja dan tinggal di kebun ini!”.

Akhirnya Mubarak berkata: “Tuanku, aku tidak bisa membedakan anggur yang manis dengan yang masam, karena tuan mempekerjakan aku di kebun ini hanya sebagai penjaga”. “Sejak tinggal disini aku belum pernah merasakan sebutir anggur pun. Bagaimana mungkin aku dapat membedakan mana yang manis dan mana yang masam?”.

Baca Juga:  Ini Jenis Makanan yang Menyehatkan Ginjal

Tuannya tertegun mendengar jawaban Mubarak. Ia seakan-akan memikirkan sesuatu. Kemudian pulanglah ia ke rumah. Pemilik kebun itu memiliki seorang anak gadis. Banyak pedagang kaya telah melamar anak gadisnya, tapi semuanya ditolak.

Sesampainya di rumah, ia berkata kepada istrinya: “Aku telah menemukan calon suami anak kita”. Istrinya bertanya: “Siapa dia?”. Suaminya menjawab: “Mubarak, budak yang menjaga kebun kita”.

Mendengar jawaban suaminya, maka istrinya marah dan berkata: “Bagaimana kamu ini…?! Masa puteri kita hendak kamu nikahkan dengan seorang budak hitam. Kalau pun kita rela, belum tentu anak kita mau menikah dengan budak itu!”. “Coba saja sampaikan maksudku ini kepadanya. Aku sangat mengagumi akhlaknya dan aku lihat Mubarak sangat wara’ dan takut kepada Allah Swt”.

Kemudian sang istri pergi menemui anak gadisnya: “Ayahmu akan menikahkanmu dengan seorang budak kita yang bernama Mubarak! Ibu datang untuk meminta persetujuanmu.”

Sang anak pun berkata: “Ibu, jika kalian berdua telah ridha, maka aku pun setuju. Siapakah yang mampu memperhatikanku lebih tulus daripada kedua orang tuaku? Lalu mengapa aku harus tidak setuju?”.

Sang ayah yang kaya raya itu kemudian menikahkan anak gadisnya dengan Mubarak. Dari pernikahan ini, lahirlah Abdullah bin Mubarak, seorang Ulama yang wara’. Subhanallah… Inilah dampak makanan halal, yang membuat kehidupan barokah, hingga kepada keturunannya.

Jangan berpikir bahwa orang yang baik itu mesti orang yang tampan dan yang berpakaian mewah. Akan tetapi orang yang baik adalah orang yang bisa menjauhi maksiat, beramal saleh dan menuntut Ilmu dengan penuh adab. Karena ilmu akan menuntun pemiliknya mencapai kemuliaan. (p/wa/ana)

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU