Embun di pagi buta menyejukan semesta. Matahari bersinar terang membawakan keceriaan di hari senin pagi. Segelas susu hangat berada di tangan kanan ku, dan satu piring sarapan pagi ada di atas meja.
Kacamata, baju putih, serta dasi dan celana abu-abu melekat di tubuh ini. Nama ku Elgara Saros. Aku masih duduk di kelas sebelas SMA. Sekarang kantin masih sangat sepi karena waktu menunjukan pukul enam pagi.
Setiap pagi hari, aku memang selalu duduk sendiran di kantin, dengan makanan yang sudah disiapkan dari sana. Kedua orang tua ku selalu saja bertengkar di rumah, hal itu yang membuat ku merasa tertekan bila berada di tempat yang disebut rumah, namun nyatanya hanyalah penjara.
“Elgara, good morning bestay,” suara seorang pria tampan dan rempong menggelegar di kantin yang sepi. Hanya terdapat bu kantin saja. Pria itu memang benar-benar bobrok jika aku berada di sisinya.
“Wih sarapan, bagi sedikit,” ucapnya lalu memakan sarapan yang ada di atas meja. Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja. Untungnya segelas susu murni masih ada di tangan ku, jadi masih aman dari jangkauan pria tampan pemain basket itu.
Dia adalah sahabat ku dari kecil. Kami tumbuh bersama. Duduk di bangku sekolah dasar yang sama, sekolah menengah pertama yang sama, sampai sekarang di sekolah menengah atas yang sama. Aku sangat tertutup pada orang lain, sementara dia sangat-sangat terbuka pada orang lain.
Kami bagaikan introvert dan ekstrovert yang bersahabat. Kalau ada sesuatu saat aku diam saja, pasti sahabat ku yang akan angkat bicara. Dia segalanya. Sebut saja namanya Orion, seorang athlete basket yang digandrungi banyak wanita.
Orion selalu terlihat gagah perkasa di depan teman-temannya, terutama para cewek. Namun kalau sudah di depan ku, dia terlihat seperti anak kecil yang butuh kasih sayang. Usia Orion lebih muda dari ku. Jarak usia kami sekitar beda satu tahun saja.
“Gar. Jangan datang pagi-pagi apa. Kan gue jadi ikut pagi,” aku hanya bisa menggelengkan kepala saja. Siapa suruh datang pagi. Aku sama sekali tidak memintanya datang pagi. Dia saja yang inisiatif untuk datang pagi.
“ELGARA jangan diam dong.”
“Apa sih. Gue nggak nyuruh lo ya.” Jawab ku.
“Nggak setia kawan kalau gue nggak datang pagi juga.”
Aku menghela nafas gusar, pusing dengan tingkah laku manusia yang ada di sisi ku ini. Tingkahnya random sekali. Di luar terlihat jantan dan kuat, namun di mata ku tetap saja sebagai Orion si anak kecil yang manja.
***
Langit berubah menjadi kelabu. Ada seorang anak pindahan dari Negara Amerika Serikat. Pria itu memiliki rambut blonde yang indah, mata berwarna biru, kulit putih, postur tubuh yang bagus, idaman para cewek-cewek. Sepertinya dia blesteran, namun wajahnya dominan Amerika.
“Hello, perkenalkan nama gue Exelio, biasa di panggil Exel. Gue pindahan dari Michigan, USA. Salam kenal,” semua peserta didik menatapnya dengan tatapan kagum. Aku dan Orion duduk dengan posisi depan belakang. Orion di belakang, sementara aku di depannya. Guru yang mengatur.
Guru menyuruh Exel duduk tepat di sebelah Orion, karena di sana ada kursi kosong yang orangnya juga sudah pindah.
Mereka berdua berkenalan dengan riang gembira. Aku pun juga ikut berkenalan dengan pria bule itu. Sifatnya juga hampir sama dengan Orion. Pria bule itu juga bermain basket.
Waktu terus bergulir sampai tidak terasa kalau sekarang adalah waktunya untuk pulang. Biasanya Orion mengantar ku ke rumah menggunakan sepeda motornya, namun saat kaki ini sampai di parkiran, yang ku dapati adalah Orion tengah bersenda gurau dengan teman barunya. Exelelio.
“Elgara. Sini,” Orion membuat ku melangkahkan kaki ke sana. Keberadaan ku di sana membuat Exel canggung sendiri. “Gue mau main ke rumah Exel, lo mau ikut?”
Aku terdiam, mengalihkan pandangan ke arah Exel yang tersenyum kikuk. “Nggak usah, gue mau pulang. Kalian main aja nggak papa,” ucap ku dengan senyuman. Entahlah senyuman apa ini artinya.
“Nggak papa?”
“Iya nggak papa, gue juga mau ke toko buku dulu. Lo nggak usah khawatir gue pulang naik apa ya. Nikmati waktu kalian,” ucapan ku barusan membuat Orion tersenyum senang. Pria itu menyalakan motor, sementara Exel langsung mendudukan bokong tepat di belakang Orion.
Motor besar dengan suara yang menggelegar melesat keluar dari gerbang tinggi berwarna hitam, SMA Garuda. Tentu saja menyita perhatian dari beberapa manusia yang ada di sana. Ku kira Exel membawa motor atau mobil, ternyata tidak.
Ini akan menjadi hari yang melelahkan. Soal toko buku, aku berbohong pada Orion. Sebenarnya aku ingin pulang. Tidak mampir ke toko buku. Hanya untuk alibi supaya Orion tidak khawatir karena jarak toko buku dan sekolah dekat.
Bus sekolah membawa ku menuju rumah. Hanya sampai di depan jalanan saja. Untuk menuju komplek, aku harus berjalan lagi. Biasanya pulang bersama Orion, namun sekarang sendirian. Sedikit menyedihkan.
Rumah. Tempat untuk istirahat dari semua aktivitas. Namun bagi ku, rumah ini hanyalah malapetaka. Aku melihat papah ku tengah duduk sambil menonton pertandingan basket. Ini adalah bagian yang paling aku takutkan. Yaitu ketika papah menonton pertandingan olahraga.