Saat sudah di luar sekolah, tiba-tiba saja sebuah truk melaju dengan cepat dari arah yang berlawanan. Pikiran ku kosong, dan tubuh ku mendadak tidak bisa bergerak.
Truk itu langsung menghantam tubuh ku hingga terpental ke belakang, dan tersungkur ke tanah. Darah langsung bercucuran. Ponsel masih ku genggam erat, supaya tidak hancur atau retak. Tujuan ku hanya ingin memperlihatkannya pada mamah, papah, adik, kakak.
“ELGARAAAA.”
Teriakan Orion mengundang perhatian beberapa orang. Pria itu langsung menghampiri tubuh ku yang sudah tersungkur lemah dengan darah yang terus mengalir.
“Handphone, tolong kasih ke mamah, sama papah.” Kata ku dengan suara lemas, membuat Orion berkaca-kaca. Pria itu menopang kepalaku yang sudah mengeluarkan darah banyak. Rasanya pusing sekali. Pandangan juga mulai kabur. Yang kulihat sekarang adalah wajah Orion yang menangis.
“Lo menang lomba tingkat internasional? Tapi tolong jangan tinggalin gue Gar. Maafin perkataan gue Gar. Iya gue tau gue salah, maafin gue gar. Gue mohon jangan tinggalin gue sendiri disini,” Orion berusaha menyumbat darah yang keluar. Bahkan baju pria itu sudah di penuhi darah ku sendiri.
“Udah ada Exel,” Lirih ku.
“Nggak. Dia emang keren, dan dengan bodohnya gue menjatuhkan lo demi mau kenal dekat dengannya. Maafin gue Gar, lo tetap yang terbaik. Lo sahabat gue,” rasa sakit yang awalnya teramat sakit sedikit menghilang ketika mendengar ucapan Orion barusan.
“Rion, gue pergi,”
“Enggak Gar, jangan pliss,” Orion menggeleng. Deraian air mata semakin deras saja. “Sampaikan ponsel itu ke mamah dan papah.”
“Lo harus kasih sendri, biar om dan tante nggak nginjek nginjek lo lagi, okey?”
“Beberapa menit lagi gue pergi.” Aku memejamkan kedua bola matanya. Tentu saja membuat Orion panik. Ambulance sudah datang, membuat Orion langsung membopong ku kedalam mobil.
Sepanjang perjalanan, deraian air mata terus saja mengalir membasahi pipi Orion. Pria itu mengenggam tangan ku erat-erat, berharap bisa di selamatkan.
“Elgara, bangun, gue mohon. Elgaraaa. Kenapa lo ninggalin gue? GAR…Hiks…Hiks…” Ucap Orion.
“Gue disini, Rion….udah nggak kuat….Cari sahabat bar….baru, gue pergi.” Elgara menghembuskan nafas terakhirnya membuat seisi ambulance terdiam. Semua saling menatap. Tangan yang awalnya tergenggam, mendadak lemas dan pucat.
“GAR…hiks…ELGARA….hiks…hiks…Maafin gue Gar…” Orion menyatukan keningnya dengan pipi Elgara. Pria itu amat sangat menyesal.
Yang namanya penyesalan, selalu datang di akhir. Orion pun mengirimkan pesan pada kedua orang tuanya Elgara bahwa anaknya sudah memenagkan kontes internasional. Namun Orion juga mengatakan kalau Elgara sudah tiada.
“Maafin gue Elgara. Gue sahabat yang buruk buat lo,” Orion mengusap Elgara sekilas, sebagai tanda kasih sayang seorang sahabat. Para dokter yang ada di ambulance ikut sedih karena melihat Orion yang begitu hancur.
Setelah di beri kabar tentang Elgara, Kedua orang tuanya langsung bergegas ke rumah sakit. Penghargaan tingkat internasional itu sudah tidak berguna lagi bagi mereka.
Mamahnya Elgara selalu menangis di perjalanan, kedua saudaranya pun sama. Papahnya Elgara hanya bisa diam. Ketika sampai di rumah sakit, mereka langsung diarahkan ke kamar mayat. Di sana ada Orion dengan pakaian penuh noda darah yang sudah mongering.
“Tante, Om. Ini ponsel Orion. Saat di pangkuan ku, dia berpesan supaya memberikan ponsel yang tidak hancur ini pada kalian. Dia bahkan lebih mementingkan ponselnya dibandingkan dengan hidupnya yang berharga. Masa kelam selama hidup Elgara sudah berakhir.”
Orion membuat kedua orang tua Elgara mematang di tempat. Kemudian mereka melihat jasad Elgara yang sudah dibersihkan. Saat itu juga Orion tidak dapat menahan tangisnya. Rasanya lebih sedih dibandingkan putus cinta.
“Maafin gue, Elgara.” Orion mengusap kepala Elgara. Air mata pria itu jatuh tepat ke hidung pria yang sudah tertidur selamanya.
“Maafin mamah, Elgara,” ucap sang Ibu. “Maafin papah, Elgara,” ucap sang papah. “Maafin aku, Kak,” ucap sang adik. “Maafin aku, Elgara,” ucap sang kakak.
Seseorang yang awalnya disia-siakan akan amat berharga ketika dirinya sudah pergi. Semua orang merasakan kehampaan ketika Elgara pergi.
Orion sudah menyia-nyiakan sahabat terbaiknya, sekarang menyesal ketika di tinggalkan. Papah dan Mamah Elgara terus membandingkan putranya dengan kedua saudara nya, sekarang hanya tersisa penyesalan saja. Kemenangan tingkat internasional sudah tidak berguna.
Kedua saudara Elgara pun merasakan hal yang sama.
Penulis: Syahrul Abdullah