Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah salah satu instrumen untuk mengendalikan laju penularan Covid-19.
“Jadi ini bukan satu-satunya cara,” kata Prof Sukri Palutturi, SKM., M Kes., MSc PH, PhD, Guru Besar Bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Unhas.
Pemberlakuan PSBB ini, kata Prof Sukri, harus sejalan dengan intervensi kesehatan masyarakat lainnya misalnya deteksi kasus, pelacakan kontak, isolasi mandiri, test massal, dan bahkan melakukan proteksi dan peningkatan jaminan kualitas layanan kesehatan di fasilitas kesehatan bagi mereka yang sudah dinyatakan positif.
Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Sulsel itu juga mengatakan, landai pencapaian penurunan penularan Covid-19 ini, akan sangat bergantung pada bentuk, konsistensi dan keberlanjutan intervensi.
“Kalau intervensinya biasa saja, misalnya pembatasan interaksi sosial yang bersifat sukarela, maka hasilnya tidak banyak yang dapat diperoleh karena sifatnya sukarela artinya ada yang menerapkan dan ada yang tidak menerapkan,” terangnya.
Dalam kaitan dengan penerapan PSBB di beberapa kabupaten/kota di Indonesia termasuk di Kota Makassar, dari sisi kebijakan kesehatan, menurut Prof Sukri keberhasilannya sangat ditentukan oleh empat faktor.
Pertama, content (isi kebijakan), apa yang diatur, apa yang dibatasi misalnya pembatasan kendaraan untuk R2, tidak dibolehkan membonceng penumpang untuk R2, dan pengemudi wajib menggunakan masker, sementara pembatasan penumpang R4, misalnya mobil sedan hanya boleh memuat dua orang yaitu satu pengemudi di depan dan satu orang di belakang.
Untuk mini bus hanya diperbolehkan memuat empat orang yaitu satu pengemudi di depan, dua orang di tengah dan satu orang di belakang semuanya wajib pakai masker.
Dihimbau tetap di rumah kecuali untuk keperluan mendesak atau kebutuhan bahan pokok untuk masyarakat yang tidak diisolasi.
“Ini yang diatur, apa yang diatur dalam konteks kebijakan dikaji kembali bahwa apa dengan pengaturan ini semua sudah bisa mengendalikan landai penularan Covid-19 tersebut,” jelasnya.
Di sosial media beredar draft PSBB Kota Makassar misalnya Pasal 16 ayat 2c yang mengatur perkeretaapian. Ini contoh, dimana di Sulawesi Selatan atau di Makassar ada kereta api? inilah yang dimaksudkan sebagai kontent kebijakan. Jadi harus di-chek kembali secara detail, jangan di-copy paste dari peraturan kementerian kesehatan atau dari tempat lain.
Faktor kedua menurut Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan FKM Unhas ini adalah context-nya.
“Paling tidak dalam melihat aspek konteks ini dua aspek yang perlu dilihat yaitu misalnya faktor budaya masyarakat, yang diatur adalah pergerakan orang dan pergerakan barang. Karena Covid-19 berkaitan dengan interaksi manusia maka aspek-aspek budaya harus dihitung, hitung aspek etnik masyarakat, sampaikan dengan bahasa mereka,” tuturnya.
Ia menyarankan untuk memakai bahasa sesuai dengan bahasa masyarakat agar bisa diterima dengan baik. “Pakai bahasa Makassar kalau itu adalah wilayah Makassar atau bahasa Bugis kalau itu adalah wilayah Bugis, mereka pasti tersentuh,” jelasnya.
Ketiga, process. Proses kebijakan PSBB misalnya siapa yang merumuskan kebijakan tersebut, keterlibatan berbagai komponen menjadi sangat penting untuk melihat masalah tersebut.
“Kepentingan kita adalah menurunkan laju penularan Covid-19, tidak boleh ada kepentingan pribadi di dalamnya yang dapat menguntungkan sekelompok orang bagaimana kebijakan PSBB diimplementasikan, sampai pada siapa yang akan evaluasi,” ungkapnya.
Karena ini sifatnya keadaan darurat, sambungnya, dalam masa pandemi ini, maka evaluasi harus dilakukan setiap hari sambil melihat efektivitas pemberlakuan dari PSBB tersebut dengan penurunan laju kasus.
“Jadi ada pembinaan dan pengawasan yang dilakukan misalnya dinas kesehatan, gugus tugas, gubernur atau bupati atau walikota tergantung levelnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kuncinya proses kebijakan harus dilakukan secara tegas, konsisten dan berkelanjutan.” Jelasnya.
Terakhir bahwa penerapan PSBB ini sangat ditentukan oleh aktor kebijakan.
Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjelaskan bahwa pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Aktor utama tentu adalah bupati/walikota atau gubernur.
Di lapangan tentu ada pihak kepolisian yang banyak membantu mengatur mengenai pembatasan yang berkaitan dengan moda transportasi, ada gugus tugas percepatan yang akan mengkaji secara keseluruhan.
Peran media sangat penting sebagai aktor dan alat kontrol dari penerapan PSBB tersebut.
Terakhir adalah masyarakat itu sendiri, masyarakat adalah aktor tidak hanya mereka menjadi bagian yang dibatasi tetapi juga mereka menjadi aktor dalam penerapan PSBB tersebut.
“Jadi penerapan PSBB ini, kuncinya sangat ditentukan oleh faktor-faktor ini,” tutupnya.(FP)