Saya mengenal Ilham Bintang setelah saya menjadi pemimpin redaksi. Sebelumnya hanya mendengar kisahnya saja, sejak ia masih menjadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata.
Namun, cerita tentang pria kelahiran Makassar tahun 1955 ini makin menderas sejak ia mendirikan Cek & Ricek, program infotainmen di televisi maupun berbentuk tabloid. Akhirnya menjadi perbincangan publik luas ketika Ilham memperjuangkan infotainmen menjadi bagian dari jurnalistik. Ilham memang sohor sebagai raja infotainmen.
Perjalanan karier Ilham sebagai wartawan memang lebih banyak berkutat di bidang seni dan budaya, alias urusan pentas, panggung, dan layar. Namun dari situlah ia kemudian menjelajah. Seperti kebanyakan wartawan pada umumnya, awalnya kuat pada isu tertentu namun kemudian menjadi generalis. Menggeledah seluruh isu.
Itulah hakikat profesi wartawan. Ilham memiliki pergaulan yang luas. Ia rajin bersilaturahim. Namun pijakannya kuat di dua batu: dunia artis dan organisasi PWI. Ya, sejak awal Ilham aktif di PWI, organisasi tempat berhimpun para wartawan. Di organisasi ini, di masa mudanya, Ilham menjadi ketua seksi film dan kebudayaan.
Ya, Ilham memang kuat di reportase film. Tak heran jika ia dua kali meraih Hadiah Jurnalistik Adinegoro di bidang ini. Ilham juga aktif di panitia Festival Film Indonesia dan Festival Sinetron Indonesia. Selain itu pernah menjadi menjadi anggota Lembaga Sensor Film.
Dari reportase perfilman ini ia mengenal dunia lebih luas. Hal itu dibuktikan dengan posisinya sebagai ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, sebuah organ terpenting di PWI. Organ ini hanya diduduki wartawan dengan kualifikasi mahaguru, seperti Rosihan Anwar.
Saya perlu bercerita agak panjang tentang latar belakang dan profil Ilham Bintang ini sebelum bercerita tentang bukunya yang baru terbit: Surat-surat Wasiat Mendiang Nana. Buku ini berisi kumpulan tuisannya yang dimuat di Cek & Ricek.
Inilah buku Ilham yang ketujuh. Hal inilah yang disebut Karni Ilyas, pemred TV One, bahwa Ilham jenis wartawan yang luar biasa. Jika umumnya wartawan tulis berhenti menulis setelah memasuki dunia televisi, maka tidak demikian dengan Ilham Bintang. Ia terus menulis secara rutin. Tak hanya menulis permenungan, tapi juga reportase.
Dari buku ini, terlihat spektrum perhatian dan pergaulan Ilham. Ia menulis tentang orang biasa seperti Shabrina Evaswantry binti Novizar Swantry (Nana) yang begitu datar menghadapi kematian yang dengan segera akan menjemputnya. Ia menyiapkan segalanya dengan rapi karena ia mengidap kanker payudara, termasuk membuat catatan panjang untuk orang-orang terdekatnya. Surat-surat itu dibuka setelah ia tiada.
Tak ada yang tahu kapan Nana yang sekarat itu menulis semuanya. Ia melakukannya dengan senyap. Tak heran jika Ilham menjadikan tulisan tentang Nana ini sebagai judul bukunya, bahkan dilengkapi foto Nana. Ilham menuliskannya dengan ciamik.
Padahal di buku ini ia juga menulis tentang banyak tokoh. Ia menulis tentang mantan PM Malaysia M Najib, mantan ketua umum PWI Pusat Margiono, mantan dirut RCTI Alex Kumara, Ustad Das’ad Latif, Ibu Ani Yudhoyono, Arswendo Atmowiloto, Raam Punjabi, dan sebagainya.
Di buku ini ada 53 tulisan. Isinya bukan hanya bercerita tentang sosok tertentu. Tapi semua hal yang mengusik pikiran dan nurani Ilham. Seperti kata Rocky Gerung dalam kata pengantar buku ini, sebagai wartawan, Ilham “mencatat peristiwa, mengendapkannya sebagai pengetahuan, dan menapis nilai terhalus dari manusia, yaitu kegetiran dan harapan”. Karena itu, kata Rocky, “Jurnalisme bukan sekadar keahlian teknis mencari dan memberitakan, melainkan sikap etis terhadap peristiwa”.
Ilham mencatat apa saja yang ia temui dan ia alami. Mulai dari soal kematian, politik, perjalanan wisata, hingga ke kontroversi-kontroversi seperti kasus kemenangan kotak kosong pada Pilkada Makassar, kegagalan Tetty Paruntu menjadi menteri, penggerudukan kantor Radar Bogor, tentang Habib Rizieq Syihab, dan lain-lain. Tentu Ilham bukan tukang catat.
Ia mengkontruksinya menjadi sebuah bangunan cerita yang utuh yang menyelipkan nilai dan memberi konteks suatu peristiwa. Ia membuka apa yang sesunggunya terjadi. Dengan demikian, ia hendak memberi tahu publik bahwa “ini lho yang terjadi sesunggunya”.
Ilham adalah tipikal wartawan slugger, maju terus pantang mundur seperti bahunya yang kokoh. Ia tak kan surut langkah terhadap yang ia yakini. Seolah menegaskan kumisnya yang tebal tegak dan wajah kotak dengan mata kuat dilindungi dahi. Suaranya yang menggelegar serta badannya yang gempal makin meyakinkan kekokohannya.
Ia tak takut untuk bersuara. Itulah tugas seorang wartawan sebagai watch dog. Atau seperti kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel bahwa wartawan adalah penjaga pintu. Jangan biarkan orang terjerumus dan termakan Leviathan, makhluk imajiner yang dikemukakan Thomas Hobbes.
Di balik sikap gaharnya ini, Ilham sebetulnya seorang pencari. Karena itu ia luwes bergaul dengan siapapun. Ia hanya ingin menyampaikan. Namun ia adalah seorang Makassar, berkata jelas dan bergelut dekat seperti tarung badik. Semua menjadi jelas gelap-terangnya, agar tak ada dusta di antara kita.
Ilham tentu akan membentengi dirinya dengan sikap dasar jurnalistik. Ia selalu menuliskan apa yang ia yakini kekuatan faktanya. Karena itu, tulisannya selalu detil dan kaya. Basah, kata wartawan lapangan. Dalam konteks ini, kita bisa memperoleh state of mind Ilham Bintang dalam mengarungi kewartawanan.
Hal itu tampak saat ia bercerita tentang pemberian nama program Cek & Ricek. Padahal Alex Kumara mengusulkan nama yang lebih ringan seperti gossip show, dibandingkan nama Cek & Ricek yang berkesan serius dan berat. Saat Alex menolak, Ilham terus menyorongkannya hingga akhirnya Alex menerimanya. Kata Ilham: “Gosip itu berita bohong, dan wartawan haram membuat berita bohong.”
Nah, selamat membaca buku Ilham yang terbaru ini.
Penulis: Nasihin Masha, mantan Pemimpin Redaksi Harian Republika.