Dari zaman dahulu ternyata banyak sekali kasus oknum pejabat dan koruptor. Salah satunya terjadi pada saat pertempuran Pangeran Diponegoro atas pejabat yang korup.
Pangeran Diponegoro telah menghadapi beberapa kemarahan publik terhadap pejabat yang tidak jujur ​​dan korup. Mereka yang seharusnya mendukung perjuangannya malah memunggungi dia.
Jalan terjal harus ditempuh Pangeran Diponegoro, ketika melawan penjajahan Belanda. Ada kalanya perjuangan itu berbalik menyulitkan sang pangeran sendiri. Suatu ketika, hal itu dialami Pangeran Diponegoro ketika rakyat yang seharusnya mengikuti perjuangannya, justru balik melawannya.
Dikisahkan dalam buku yang berjudul “Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855” karya Peter Carey, pernah ada pejabat yang dihukum cambuk karena memungut pajak yang lebih banyak dari ketentuan. Meskipun pejabat tersebut mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro.
Saat itu masyarakat mengalami masalah pasokan makanan yang menipis. Hal tersebut menyebabkan beberapa pejabat lokal yang semula mendukung, berbalik menentang Pangeran Diponegoro.
Mereka mengungsi ke wilayah kekuasaan Belanda, karena merasa lebih terjamin dan memiliki kesempatan ekonomi lebih baik.
Termasuk kebijakan Belanda juga adalah menurunkan pajak, mengurangi kewajiban kerja bakti, serta menaikkan upah buruh harian di sekitar benteng untuk mendorong para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng.
Hasilnya, akhir September 1829 di tahun keempat perang, perlawanan terorganisasi terhadap Belanda di daerah-daerah yang subur pangan di Jawa Tengah, bagian selatan berakhir. Ikatan rasa saling percaya dan kerja sama antara pasukan Pangeran Diponegoro, dan penduduk desa setempat sudah rusak.
Tanpa ada dukungan rakyat, tidak mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil. Pada waktu itu, Sentot sudah menyerah kepada Belanda. Di saat itulah nasib Pangeran Diponegoro, sudah berada di titik nadir.
Pada 21 September 1829 Pangeran Ngabehi, panglima senior yang tersisa, bersama dua putranya, terbunuh dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir, yang ada di perbatasan Bagelen-Mataram. Tak berselang lama, pada 11 November 1829 Pangeran Diponegoro, nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong, oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandoi oleh Mayor A.V. Michiels.
Pangeran Diponegoro akhirnya memutuskan untuk masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua punakawan atau pengiring terdekat, yakni Bantengwareng dan Roto, yang melayani segala kebutuhan Pangeran Diponegoro dan bertindak sebagai penunjuk jalan serta penasihatnya.