Flores, Seekor Ayam dan Lima Butir Mutiara

Laki-laki itu sibuk mencari seseorang. Kedua tangannya memegang seekor ayam yang masih hidup.

“Raswan di mana? Raswaaaann,” teriaknya. Sambil memegang seekor ayam, Emanuel ke sana kemari mencari Raswan.

Minggu sore, 4 September 2016, rumah singgah “Ola Ngari” di Kampung Nuapaji, Desa Jopu, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, mendadak ramai. Emanuel dan keluarga disibukkan dengan kedatangan sebelas orang tim Jala Mana Nusantara yang sedang menjelajah tanah Flores.

Hari itu, tuan rumah memberikan seekor ayam kepada Raswan yang mewakili tim Jala Mana Nusantara bukan untuk dibawa pulang, melainkan untuk disembelih dengan diawali doa sesuai agama Islam yang dianutnya.

Setelah disembelih, ayam kemudian diserahkan kepada mama-mama (sebutan bagi kaum ibu di Flores) untuk diolah dan dihidangkan sebagai jamuan santap malam bersama.

Ketika malam tiba, makanan pun sudah dihidangkan. Kami berkumpul, berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, lalu makan bersama. Tidak lupa, mereka menawarkan Moke, minuman lokal yang terbuat dari pohon Lontar.

Baca Juga:  Bom Molotov di Redaksi Jubi Jayapura, Ancaman Terhadap Demokrasi

Inilah tradisi masyarakat di Flores dalam menyambut tamu. Mayoritas masyarakat Flores beragama Katolik, namun mereka memiliki semangat toleransi yang sangat tinggi. Hal tersebut terlihat saat menerima kami yang datang dari berbagai kota di Indonesia, beragam latarbelakang suku dan juga berbeda agama.

Flores memang sebuah daerah yang elok untuk belajar banyak hal. Di sinilah saya melihat masyarakat menghormati perbedaan dengan cara sederhana. Budaya gotong royong, kebersamaan, toleransi dan menghargai orang lain.

Hal itu juga terlihat saat satu keluarga akan merenovasi rumah adat, maka masyarakat yang lain datang membantu. Mereka tidak memandang suku maupun agama.

- Iklan -

Masyarakat memaknai kehidupan adalah bagian dari membantu dan menghargai sesama. Sikap menghormati sesama, termasuk lawan jenis tidak boleh dicerai-beraikan atas dasar perbedaan apapun.

Baca Juga:  5 Tips Menghindari Pinjaman Online Ilegal

Pancasila

“Mutiara” inilah yang kemudian ditemukan Soekarno saat dirinya diasingkan Belanda pada 1933, di Ende, Flores, NTT. Di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Soekarno menceritakan pengalamannya ketika menemukan “lima butir mutiara yang indah”.

Setiap hari Bung Karno mendatangi sebuah pohon sukun untuk sekadar memandanginya selama berjam-jam. Dalam perenungannya sambil menatap pohon sukun itu, Bung Karno mendapat ilham untuk menggali nilai-nilai dan tradisi yang ada di Nusantara.

Dia pun menemukan “lima butir mutiara” yang kemudian dikenal sebagai Pancasila; yakni kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan Ketuhanan yang Maha Esa. Pada sidang tersebut, Bung Karno mengatakan, jika lima hal itu diperas menjadi satu, maka yang muncul adalah perkataan “gotong royong”. (SRIYANTO)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU