Gadis Penunggu Karang

Pipinya basah, luruh oleh air mata. Ainun tak tahan melepas kepergian Fikar. Namun apa boleh diucap, sudah demikianlah keputusan kekasihnya, mappetuada1 sudah dilakukan, iktikad sudah dimantapkan, dan layar sudah dibentangkan. Fikar berjanji akan segera pulang lalu mengawininya. Orang-orang di bibir pantai melambaikan tangan, menjadi saksi atas janji seorang pria yang ingin mengawini kekasihnya. Dalam budaya Bugis-Makassar, siri jika janji yang demikian sakralnya dilanggar. Lebih baik mati daripada harus menanggung tulah tujuh turunan.

***

Tiga hari yang lalu, rumah panggung Ainun disesaki oleh keluarga besar Fikar, dua keluarga saling berhadap-hadapan, masing-masing diwakili oleh tetua: ritual mappetuada. Perbincangan alot perihal doi panai2 belum menemukan titik temu. Keluarga mempelai perempuan mempersyaratkan doi panai sebesar seratus juta, ditambah lima karung gabah serta lima belas gram emas 24 karat. Kepala Fikar jadi meradang. Keluarga mempelai pria, yang diwakili oleh Ambo Icong, menunjukkan kepiawaian dirinya bersilat kata. Dia sudah paham bagaimana cara bernegosiasi dalam urusun seperti ini. Jam terbangnya menjamin itu semua.

“Begini Daeng! Harga yang dipatok barusan itu, jujur saja, sangat berat untuk kami,” kata Ambo Icong diplomatis, “perkawinan kan bentuk ibadah. Alangkah baiknya jika kita tidak saling mempersulit dalam ibadah. Lebih cepat lebih baik. Betul begitu, Daeng?”

“Iya memang betul. Kalau begitu, kita kembalikan saja kepada keluarga mempelai pria.

Kira-kira baiknya berapa?” kata perwakilan mempelai perempuan.

“Begini saja. Biar gampang. Uang panainya lima puluh juta, ditambah lima karung gabah serta satu set perhiasan emas,” tawar Ambo Icong.

“Tambah sedikitlah. Biar sama-sama enak, jadi tujuh puluh lima juta. Setuju?” “Baiklah kalau begitu, setuju.”

“Alhamdulillah,” kata semua orang serempak. Ketegangan oleh masing-masing orang akhirnya mencair. Mereka semua tidak mau apa yang dialami oleh sebagian orang terjadi juga di sini. Sebulan yang lalu di kampung sebelah, perkawinan batal karena tidak ada kesepakatan jumlah doi panai.

- Iklan -

Setelah itu barulah masuk ke pembahasan teknis, mulai dari pesta yang dilaksanakan di mana, kapan, dan oleh keluarga siapa, tentu saja dengan tanggungan biaya masing-masing, hingga ke tanggal akad dan warna baju bodo yang akan dipakai oleh pengantin perempuan. Semuanya berjalan lancar dalam diskusi ringan dengan kopi hitam di tangan kanan dan kretek di tangan kiri.

1 Acara ritual untuk mengumumkan kabar baik dari kedua pasangan, mulai kesepakatan harga mahar, tanggal berlangsungnya pernikahan, dan keperluan pernikahan lainnya.
2 Uang belanja dan perhiasan yang diberikan oleh mempelai pria untuk mempelai wanita sebagai penghormatan.

 

Semua orang hari itu bernapas lega, kecuali Fikar. Baginya tujuh puluh lima juta itu masih angka yang besar, tetapi ia yakin cintanya masih jauh lebih besar. Maka ia kuatkan tekadnya, sebagai pria tulen, ia harus merantau dan bekerja keras untuk mengumpulkan doi panai. Ia tidak sabar untuk segera mengawini kekasihnya, Ainun. Demikianlah, kini ia dilepas oleh warga di bibir pantai, menyaksikan pertaruhan cinta anak suku Makassar, samudra kan ditaklukkan, badai kan diterjal, dan apapun itu yang akan menghalangi dua insan untuk saling mencinta, kan dilalui.

***

Gadis itu masih saja berdiri di sana, di atas bukit karang, dari pagi hingga senja mengintip di peraduan. Para nelayan sudah kembali dengan hasil buruannya, barulah gadis itu pulang ke rumahnya untuk besok kembali melakukan ritual yang sama, menunggu kekasihnya, berulang-ulang. Sejak kepergian Fikar tiga bulan yang lalu, Ainun tak pernah bosan menanti di atas batu karang sebagaimana air laut tak pernah bosan dengan garam.

Semua orang sudah maklum dengan gadis penunggu karang sepanjang hari. Itu adalah penantian yang panjang dan masa-masa yang krisis. Satu-satunya orang yang keberatan dengan Ainun tentu saja ayahnya sendiri. Sebagaimana kesepakatan ketika akad mappetuada beberapa bulan yang lalu, tenggak waktu Fikar untuk mengumpulkan doa panai kini sudah habis. Dan otomatis, ikatan kesakralan kedua keluarga mempelai terputus secara adat. Pihak perempuan sudah berhak untuk menerima lamaran pejantan yang lain. Tiga bulan penantian telah berlalu dan lamaran silih berganti berdatangan. Namun Ainun masih bersikukuh dengan cintanya.

“Tiga bulan kau menunggu dalam kesia-siaan. Kuburlah cintamu dan terimalah lamaran Pudding,” bujuk Ayahnya.

“Tidak, bapak!”

“Ia keturunan terakhir Sultan Hasanuddin. Mentereng harta benda, tinggi pangkat dan jabatan. Ia bisa membayar maharmu dua kali lipat. Jangan bodoh, Ainun!” bentak Ayahnya dengan intonasi tinggi.

“Sadar, bapak. Sadar! Ia bahkan lebih tua darimu.”

Keluarga Ainun hampir dibuat putus asa oleh kekeraskepalaannya. Ia akan terus menunggu pujaan hatinya betapapun para pria datang silih berganti menawarkan cinta yang lain. Ia akan menunggu tiga bulan, sepuluh bulan, sepuluh tahun, bahkan sampai kapanpun. Baginya, hukum adat lebih kerdil jika dibanding dengan cintanya, dan mungkin jauh lebih besar dari adat nenek moyangnya sendiri.

Berbulan-bulan telah berlalu. Air laut masih sama asingnya dan para nelayan yang dihantui penyakit reumatik di masa tua masih berlayar dengan perahu pinisi. Semuanya masih tetap sama sebagaimana cintanya. Tidak ada yang berubah. Hingga berhari-hari kemudian dalam penantiannya yang sepi di atas bukit karang, ia memperolah kesadaran spiritual, bahwa betapa berdosa dirinya, membuat orang tuanya apalagi ayahnya menderita dalam harapan memperoleh cucu yang sangat diidam-idamkannya. Hal yang paling mengganggu pikirannya adalah ketidakpastian cintanya.

Yang lebih membuatnya menderita adalah ketika suatu malam di saat ia sedang beristirahat di dalam kamarnya, ia mendengar ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu. Dan ia segera tahu bahwa seseorang datang melamarnya, untuk kesekian kalinya. Setelah tamu itu pergi, orang tuanya datang menemui dirinya yang masih terjaga.

“Mungkin ini lamaran yang ke sepuluh untukmu dan alangkah bodohnya jika kau menolaknya. Dia Puang Syarifulloh, kiai kondang di negeri ini.”

“Bapak, jangan tega! Kumohon, ia sudah punya dua istri dan lima orang anak.”

Doraka3! Kau sudah menolak orang kaya dan kini kau menolak kiai,” ayahnya geram, “apa sesungguhnya maumu?”

“Aku hanya mau kawin dengan orang yang kucinta.”

Ainun menutup perdebatan malam itu yang jika dilanjutkan akan terjadi peperangan yang dapat membuat tetangga-tetangga kaget terheran-heran. Puncak penderitaannya terjadi di minggu pertama bulan ke sepuluh penantiannya, bukannya mendapat mahar, ia malah mendapat kabar, kalau kekasihnya sekarat digempur corona yang sedang melanda negeri seberang. Desas-desus yang lain mengatakan kekasihnya sudah mati dilahap badai, atau kekasihnya sudah kawin dengan gadis lain di negeri seberang. Di tengah-tengah semrawutnya berita itu, Ainun berusaha menyikapinya dengan ketenangan yang luar biasa, meskipun ia tahu sesungguhnya jiwanya sedang rapuh dalam penantian yang tak bertepi.

Ia jadi lebih sering melamun kalau tidak terlihat murung. Ia tidak bisa hidup tanpa cinta. Maka perlahan-lahan kewarasannya mulai minggat. Tiap kali ia menunggu di atas bukit karang dan melihat seorang lelaki nelayan yang baru pulang dari perburuan, ia akan berteriak-teriak kegirangan dan menyangka bahwa nelayan itu adalah kekasihnya yang telah pulang. Ia kemudian akan mengejar-ngejar nelayan itu yang ketakutan dan entah mendapat kekuatan dari mana ia akan berlari secepat embusan angin, melabrak semak-semak atau jatuh ke parit.

Semakin lama bukan hanya nelayan yang jadi korbannya, semua pria yang ia temui di sepanjang jalan akan dianggapnya sebagai kekasihnya. Maka semua pria akan ia kejar hingga mereka terjatuh ke parit atau masuk ke dalam semak-semak saking ketakutannya. Kewarasannya betul-betul telah minggat. Ia tidak kuat menanggung cinta yang demikian dahsyatnya.

Atas keributan itu, warga termasuk keluarganya mengambil inisiatif setelah melalui musyawarah yang panjang untuk mengurungnya di sebuah gudang tua yang dulu dipakai untuk menaruh gabah. Akhirnya semua orang terutama nelayan bisa hidup kembali dengan damai. Tidak ada lagi yang peduli dengannya, tidak ayahnya, tidak keluarganya. Satu-satunya yang peduli adalah aku, pindu’nya4. Alasan kenapa ia masih hidup hingga beberapa minggu kemudian, karena aku yang sering membawakannya makanan melalui lubang jendela dan kadang-kadang mengelap tubuhnya atau mengganti pakainnya, tentunya tanpa sepengetahuan orang-orang. Ia terlihat kacau menyisakan bekas-bekas kecantikannya yang dulu. Selain aku,

3 Durhaka
4 (pindua) sepupu dua kali atau sepupu jauh.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU