Ia tidak mau berkomunikasi dengan siapapun. Aku sudah bermain dengannya bahkan semenjak kami orok. Kakekku dengan kakeknya saudara kandung dan ayahku dengan ayahnya cikali5.
Sembilan bulan semenjak ia dikurung di dalam gudang, pada suatu malam entah kenapa tiba-tiba ia melantunkan kidung-kidung cinta. Suaranya begitu keras dan indah memesona, membuat orang-orang yang mendengarnya menangis. Betapa indah kidung cinta itu sampai mampu menembus kesunyian malam, hingga hampir semua orang mendengarnya dan akhirnya ikut menangis. Semua orang tidak menyadari penyebab mukjizat itu sampai besok pagi seorang nelayan lari tergopoh-gopoh ke rumah keluarga Ainun.
“Fikar sudah kembali! Fikar sudah kembali! Ia datang dari bibir pantai!”
Nelayan itu terus mengulang-ulangnya. Seketika semua orang berlari menuju bibir pantai, membentuk arak-arakan sebagaimana dahulu mereka melepas kepergian Fikar. Kini mereka melakukannya kembali untuk menyambut kedatangannya, membukakan arah menuju gudang tempat Ainun dikurung. Fikar terus berjalan dalam ketenangan yang ajaib, merasa tidak terganggu oleh iring-iringan orang yang mengantarnya. Matanya masih menyisakan kehormatan pria tulen meski ia terlihat agak kacau. Ketika ia telah tiba di depan gudang, semua orang menyingkir, membiarkan Fikar masuk untuk bertemu dengan kekasihnya. Namun apa yang terjadi setelahnya betul-betul tidak bisa dicerna oleh orang yang tidak paham apa itu cinta: Fikar ikut gila melihat Ainun gila. Memang betul cinta dapat membuat orang yang waras menjadi tidak waras, orang yang melihat menjadi buta, dan orang beriman menjadi hilang keimanannya. Begitu pula sebaliknya.
Demikianlah akhirnya Ainun dan Fikar sama-sama dikurung di dalam gudang. Mereka berdua dirantai di sisi yang berlainan. Bagi orang yang dimabuk asmara, gudang itu bak istana, tempat pertemuan pangeran dan tuan putri memadu kasih setelah melalui masa yang melelahkan. Setiap hari mereka berkomunikasih dengan bahasa cinta melalui butir demi butir air mata, bahasa yang hanya dapat dipahami oleh mereka berdua. Berbulan-bulan kemudian, mukjizat tak kunjung meninggalkan Ainun. Pagi-pagi sekali ketika mau mengantarkan makanan, aku mendengar suara bayi dari arah gudang. Aku ragu sebelum akhirnya dikagetkan oleh kemunculan keluarga Ainun yang lain. Mereka juga ternyata mendengar suara itu dari rumah mereka yang bersebelahan dengan gudang, tempat Ainun dikurung. Aku was-was mengekor dari belakang, bersama-sama masuk ke dalam gudang. Lalu akhirnya kami semua terperangah mendapati seonggok orok sedang meraung-raung tepat di bawah tubuh Ainun yang terpasung.
“Allahu Akbar! Mereka berdua memang sudah ditakdirkan menjadi sepasang kekasih,” komentar paman Ainun.
“Inilah buah dari cinta mereka,” ibu Ainun ikut berkomentar. Ayahnya tidak mau ketinggalan, “jodoh memang cerminan diri kita.”
5 (sekali) sepupu satu kali atau sepupu dekat.
Semuanya tampak menganga dan terpesona, kecuali aku. Ingin kukatakan sesuatu tetapi entah kenapa kalimat itu tertahan di tenggorokanku.
Bayi itu adalah anakku. Dan aku mencintai Ainun bahkan semenjak kami kecil, tapi aku selalu takut mengatakannya.