“Rinto, Bapak mau mandi. Kenapa kamu lama sekali?” “Sabar, Pak! Sebentar lagi selesai.”
Aku terpaku menatap cermin di dinding kamar mandi. Kupikir tampangku tidak terlalu jelek, bahkan cukup maskulin untuk seorang pemuda lima belas tahun. Badanku juga tidak terlalu kurus, lumayan berisi. Meski begitu, aku kerap menjadi bahan celaan di sekolah. Teman-temanku akan langsung menyambutku dengan gelar “Rinto si gigi kuning” saat masuk kelas.
Aku menyeringai lebar, membiarkan deretan gigiku yang kuning kusam terpampang jelas. Semuanya bermula tiga tahun lalu. Kala itu, aku termakan rayuan teman-temanku untuk merokok bareng. Lima batang sehari, bahkan terkadang lebih. Kami biasanya pesta rokok saat jam kosong, makan di kantin, main gim, jalan-jalan, nyaris seharian penuh. Hingga tanpa kusadari, gigiku yang dahulu putih bersih menjadi sekuning ini.
Jika waktu bisa diulang, aku pasti akan menolak ajakan temanku untuk merokok. Aku ingin menjadi Rinto yang lebih baik. Tapi bagaimana caranya? Perawatan gigi jelek seperti ini pastinya sangat mahal, dan itupun belum tentu berhasil. Ayahku hanya buruh pabrik dan ibuku tukang cuci baju. Aku punya seorang kakak pengangguran yang sama candunya dengan rokok. Tiada seorangpun di keluargaku yang sanggup membayar perawatan gigi mahal. Seandainya ada cara instan untuk membersihkan gigi menyeramkan ini.
“RINTO!!!”
“Iya, Pak!” Aku bergegas membuka pintu kamar mandi.
“Dasar lelet! Bapak sudah hampir terlambat ini,” omel ayahku yang kugubris seadanya.
Aku berlari menuju kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Sekali lagi, kupandangi gigiku yang sangat menjijikan. Aku tampak seperti seekor monster jika tersenyum. Mana mungkin ada yang mau berteman denganku. Kondisi ini membuatku putus asa. Rasanya ingin mati saja.
Kendati demikian, aku tetap berangkat ke sekolah. Kutabiri mulutku dengan masker agar gigiku tidak terlihat saat bicara. Aku berpamitan dengan Ibu dan segera hengkang dari rumah. Tatkala menyusuri jalan, aku mendapati seorang pedagang kaki lima di trotoar. Setahuku, jalanan ini dikenal sepi karena jauh dari pemukiman penduduk. Lantas, mengapa pegadang itu memilih menjajakan barangnya di sini?
“Dek, mau beli?” ujarnya melabai-lambai. “Kemari, kemari. Kakek menjual barang- barang bagus.”
Seolah terhipnotis, aku bergerak menghampiri pedagang tersebut. Ternyata kakek ini tidak menjual makanan, melainkan perabot kebersihan. Ada sabun, pembersih kloset, penggosok punggung, bahkan sikat gigi. Mataku bergeming menatap sikat gigi itu. Gagangnya terbuat dari kayu dengan ukiran rumit.
“Sikat giginya unik, Kek,” ujarku.
“Bukan cuma unik, sikat gigi ini sudah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit mulut,” timpal sang kakek membuatku terbeliak.
“Yang betul, Kek? Kalau gigi kuning bisa putih lagi, tidak?” tanyaku penasaran.
“Mau sekuning apapun gigimu, pasti akan kinclong kalau digosok pakai sikat ini.
Dijamin!”
Awalnya aku ragu-ragu. Hampir semua jenis sikat gigi pernah kubeli, tetapi tiada satupun yang berhasil menyingkirkan noda kuning menyebalkan ini. Aku yakin kalau yang dikatakan kakek itu hanya bualan. Namun, aku sudah kelewat putus asa. Hanya cara instan yang kuinginkan untuk mengembalikan gigi putihku. Pada akhirnya, kutebus sikat gigi tersebut dengan uang sepuluh ribu.
“Ingat! Jika mau berhasil, jangan pinjamkan sikat gigi itu kepada orang lain.”
“I-iya, Kek. P-paham,” sahutku gemetar melihat mata sang kakek yang mencalang seram. “Kalau ada apa-apa, datanglah ke sini lagi untuk menemuiku.”
Entah mengapa, semenjak berlalu dari pedagang tersebut, sebiji harapan mulai bertunas di hatiku. Sikat gigi konyol yang semula kuanggap candaan, seketika jadi satu-satunya benda yang kudambakan. Saking senangnya, aku sampai tidak bisa berkonsentrasi di sekolah.
Sesampainya di rumah, aku bersicepat ke kamar mandi sambil menggenggam sikat gigi itu. Baru menginjak keramik, tiba-tiba perutku mulas. Ini pasti karena aku lupa buang hajat tadi pagi. Alhasil, aku pun beringsut ke toilet dan mengabaikan sikat gigiku.
Pikiranku berseliweran kemana-mana ketika buang hajat karena begitu penasaran dengan sikat gigi itu. Apa yang dikatakan pedagang itu sungguhan? Apakah sikat gigi itu bisa mengobati segala penyakit mulut? Apakah gigiku akan putih kembali? Cukup! Selepas sakit perutku hilang, aku langsung membanting pintu demi mencapai kamar mandi secepatnya.
Tatkala hatiku kian girang, yang kudapati justru pemandangan buruk-nista. Aku melihat kakakku tengah asyik menggosok gigi dengan sikat gigi milikku. Parahnya lagi, aku telah membiarkannya melanggar pantangan yang diucapkan si kakek pedagang.
“Kak, itu sikat gigiku! Jangan dipakai!” geramku murka.
Seolah tak bersalah, ia menyahut tanpa beban: “Oh, oke. kukira Ibu membelikanku sikat gigi baru. Mending kamu beli yang baru saja sana!”
“Tidak mau!” tandasku.
“Ya sudah,” ujarnya lalu berkumur-kumur. “Nih, aku kembalikan.” Ia menyerahkan sikat gigi yang sudah belumur ludah itu kepadaku.
“Dasar menyebalkan!” umpatku mengiringi kepergiannya.
Aku benar-benar muak. Kubanting sikat gigi itu ke lantai sampai patah. Hingga matipun, aku takkan pernah sudi menggunakan barang yang sama dengan kakakku. Dia memang orang yang sangat menyebalkan. Kuharap kakakku mati saja!
Saking jengkelnya, aku sampai tertidur kelelahan. Sebuah tepukan kecil membangunkanku beberapa jam kemudian. Rupanya itu adalah Kakak yang menatapku dengan semringah.
“Ada apa?” ketusku.
“Rinto, lihat ini!” Ia menunjuk giginya sambil tersenyum lebar.
“M-mustahil!” Aku tercenung menyaksikan deretan gigi seputih susu yang begitu elok. “Sikat gigimu ajaib, To! Gara-gara sikat gigi itu, gigiku jadi sebagus ini.”
Rasa kagum seketika menjadi murka manakala aku sadar bahwa yang seharusnya mendapatkan gigi seputih itu adalah diriku. Aku yang membeli sikat gigi itu dan sekarang
gigiku masih kuning menjijikan. Tapi kakakku yang hanya tidur di rumah, justru memiliki sesuatu yang amat kuinginkan.
“Dasar jahat! Kakak jahat!” Aku mencekik lehernya seperti orang kerasukan.
“Rinto! Rinto! Lepaskan!” Aku melihat kelebatan tangan yang menghantam kepalaku. “Aduhh!” ringisku kesakitan sambil memegangi ubun-ubun.
“Kamu sudah gila, ya? Dasar adik durhaka! Sudahlah, aku mau pergi.”
Tubuhku bergetar menahan emosi. Aku membenci kakakku. Sangat benci! Kelakuannya bagaikan monster. Sekalian saja wujudnya berubah jadi monster. Kuharap aku tak pernah melihatnya lagi.
Sesaat kupikir keberuntungan kakakku sudah ludes, ternyata aku salah. Saat makan malam, ia memberitahu kami kalau sudah punya pekerjaan. Ada seorang bos perusahaan yang menawari kakakku lowongan kerja karena terpesona akan senyumannya. Ayah dan Ibu sontak kegirangan dan membanding-bandingkanku dengannya. Hal itu membuatku dongkol setengah mati. Mungkin lebih baik jika aku tidak punya keluarga saja.
Di sisi lain, ada pula gelagat aneh yang kutangkap. Kakakku menggeleng tatkala ditawari makan. Awalnya, ia beralasan bahwa perutnya kenyang, tetapi hal yang sama kembali terulang besok. Kakakku lagi-lagi mengabaikan makanan yang tersedia di meja. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Selama sarapan, ia hanya sibuk mematut gigi di depan cermin kecil.
“Aryo, nasinya dimakan,” tegur ibuku kemudian.
“Makannya nanti saja, Bu. Aryo mau berangkat kerja dulu.” Kakak langsung beringsut meninggalkan kami.
Aku yang merasa curiga dengan kejadian tersebut memutuskan untuk mencari si kakek pedagang yang menjual sikat gigi. Sayangnya, kakek itu sudah tidak ada. Jalan itu sepi, seolah tak pernah ada manusia yang sudi melintasinya.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Entah mengapa, sekarang aku tidak terlalu mempermasalahkan gigi kuningku. Aku jauh lebih mengkhawatirkan kakakku yang mulai berubah. Hampir seminggu aku tak pernah melihatnya makan. Kini, badannya bangsai dengan kulit sepucat orang mati. Ayah sampai marah karena Kakak melempar piring yang disodorkan ibuku.
“Gigi ini lebih berharga dari nyawaku! Aku tidak mau gigiku rusak!” Itulah yang ia teriakkan saat Ayah berusaha menyendokkan nasi ke mulutnya tadi malam.
Aku yang semula membenci kakakku, perlahan-lahan mulai mengasihaninya. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sejauh yang bisa kupikirkan, mungkin sikat gigi misterius itulah dalang di balik semua ini. Namun, aku tidak bisa melakukan apapun.
Dua hari selepas ribut dengan Ayah, kakakku memberitahu bahwa ia hendak merenovasi kamarnya. Jadi, kami diminta untuk tidur sekamar. Sejujurnya aku kesal, tetapi juga lega. Setidaknya aku bisa mengawasi kakakku dari dekat.
Malam itu, kami hanya berbaring tanpa bicara sepatah katapun. Meski tidur di ranjang yang berbeda, aku masih bisa mengintip apa yang dilakukannya. Ia asyik memuji-muji giginya di depan cermin. Kukira aku salah lihat, tetapi selepas kupicingkan mata, ternyata
memang benar. Selain tubuhnya yang kian kurus, geligi kakakku juga tampak meruncing. Alih-alih indah, gigi itu justru terlihat sangat mengerikan.
“Apa lihat-lihat?” Suara kakak membuat jantungku jumpalitan. “A-anu, t-tidak apa-apa,” kataku pucat.
“Halah! Pasti kamu iri melihat gigiku, ‘kan? Coba lihat!” Ia duduk dan menyeringai ke arahku. Aku sontak bergidik ngeri. Kakakku terlihat persis seperti monster. “Cantik, ‘kan? Gigiku cantik. ‘kan?” ujarnya terkesan memaksa.
“T-terserah!” kataku sambil menarik selimut dan membelakanginya.
Tatkala jam dinding berdentang dua belas kali, aku terbangun dari tidur. Telingaku bisa mendengar bunyi “kretek!” bertalu-talu, seolah ada gerombolan tikus yang berlomba menggaruk dinding. Tanganku spontak bergerak menyalakan lampu untuk memeriksa asal suara tersebut. Bukan tikus yang kudapati, tetapi fakta yang mengejutkan. Kakakku hilang dari tempat tidur.
“A-apa itu?” Aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di bawah ranjangnya.
Enggan mengambil risiko, aku bergegas memberitahu orangtuaku tentang semua ini. Mereka pun menyambangi kamar kami. Ayah perlahan tengkurap agar bisa mengintip kolong ranjang kakakku. Namun, tiba-tiba sepasang tangan kurus menjulur keluar dan menyeret Ayah ke dalam sana. Aku dan Ibu seketika menjerit ketakutan.
BRUAK!!!
Ranjang itu terpental ke atas, memperlihatkan seekor makhluk bergigi tajam tengah asyik menggerogoti leher Ayah. Aku menarik lengan Ibu meninggalkan kamar tersebut. Kami segera menghubungi polisi untuk meminta bantuan.
Aku tidak mungkin salah lihat! Monster yang menggigit leher Ayah itu adalah kakakku sendiri. Penampilannya benar-benar berubah. Saking kurusnya, benjolan tulang belakang Kakak sampai menyembul keluar. Selain itu, tangan dan kakinya bengkok seperti unta.
“Rinto! Rinto!” pekik Ibu ketakutan. Ternyata Kakak berusaha mengejar kami dengan merayap di dinding. Lidahnya menjulur ganas.
Aku yang kelewat panik akhirnya kabur meninggalkan ibuku. Situasinya sangat mencekam. Tak terasa, mataku sudah kuyup akan air mata. Orangtuaku lenyap dalam satu malam dan otakku masih belum mampu mencernanya.
Aku hanya berlari sekuat tenaga demi menyelamatkan diri. Ketika melintasi jalanan sepi yang biasa kulalui, aku pun teringat dengan kakek penjual sikat gigi misterius. Pasti dialah dalang di balik semua ini! Sikat gigi itu telah mengubah kakakku menjadi monster.
Seakan telah ditakdirkan, aku tiba-tiba berpapasan dengannya, si kakek yang kucari-cari selama ini. Bedanya, kini mata pedagang itu jadi sepekat jelaga. Aku sempat ketakutan, tetapi kupaksakan diri untuk menghadangnya.
“Kakakku berubah jadi monster gara-gara sikat gigimu. Tolong kembalikan ia seperti semula,” pintaku.
“Pencuri tidak pantas dikasihani,” ujarnya. “Apanya yang pencuri? Kakakku bukan pencuri!”
“Dia telah memakai sikat gigimu tanpa izin. Kakakmu pantas menjadi monster.”
“Tidak!” bantahku bersikeras. “Aku sudah memaafkannya. Sikat gigi itu sudah tidak penting lagi.”
“Tapi kamu sendiri membenci kakakmu, bukan? Kamu ingin dia menjadi mosnter dan sudah aku kabulkan.”
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mau seperti ini!”
Kehabisan akal, aku nekat menyerang kakek itu agar mau membantuku. Kuhamburkan dagangannya ke jalan sambil mencengkram bajunya. Alih-alih merasa terancam, ia justru terbahak nyaring.
“Kakakmu sudah datang.”
Aku sontak mengintip ke belakang dan mendapati monster itu tengah bersiap menerkamku. Ini pasti hanya mimpi. Semua ini tidak mungkin terjadi! Monster itu hanyalah imajinasiku. Semua yang terjadi hari ini pasti tidak nyata.
“Tidak ada yang instan di dunia ini, Rinto. Setiap pilihan yang kamu ambil punya risiko masing-masing. Kamulah yang bertanggung jawab atas konsekuensinya. Berpikirlah dengan bijak sebelum bertindak. Waktu yang telah berlalu takkan bisa terulang lagi.” Kakek itu berbicara seiring dekatnya langkah sang monster ke arahku.
Aku tersungkur saking pasrahnya. Tungkai lututku terlalu lemas untuk lari. Seandainya dulu aku tidak merokok, mungkin semua ini takkan pernah terjadi. Seandainya aku tidak mencari cara instan untuk membersihkan gigiku, mungkin keluargaku masih baik-baik saja. Seandainya aku tidak berharap kakakku menjadi monster, mungkin saat ini kami masih bisa bermaafan. Sayang, semuanya terlambat. Aku membuat keputusan yang salah.
Sang monster menerkam leherku begitu ganasnya. Aku bisa merasakan geliginya yang seruncing kail merobek kulitku. Selepas itu, semuanya gelap. Aku tak kuasa merasakan apa- apa.
“Halo, permisi!”
“Hah!” Mataku terbuka. Seorang gadis berdiri tepat di depanku. “Kakek jualan alat kebersihan, ya?” ucapnya.
Aku sontak memandangi sekitar. Tidak salah lagi! Aku berada di tempat yang sama persis dengan si kakek saat berjualan. Aku juga melihat kedua tanganku yang kusam dan berkeriput. Dengan napas memburu, kuraba wajahku yang ternyata sudah berkerut layaknya seorang lansia.
“Jangan!” pekikku mengusir. “Pergi dari sini! Jangan membeli barang-barang ini!” Anehnya, mulutku hanya diam, seolah menentang perintahku.
“Wah, ada sabun unik. Kebetulan badan saya sering gatal-gatal.”
Saat itu, barulah mulutku berucap dengan sendirinya: “Bukan cuma unik, sabun ini sudah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit kulit. Adek mau beli?” Aku tersenyum lebar.