Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Dua guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas) mendapat kesempatan menjadi presenter pada forum internasional Asia Pacific Academic Consortium of Public Health Chapter Malaysia (APACPH-KL) yang berlangsung di University of Malaya pada tanggal 11-12 April 2019.
Prof Ridwan Amiruddin, SKM., M Kes., MSc PH yang berada di group Epidemiology menyampaikan materi dengan judul, “Pengaruh Intervensi Motivational Interviewning dan Exercise Terhadap Kualitas Hidup Penderita DM di Kota Makassar”.
Studi ini menemukan bahwa penyakit Diabtes Mellitus telah menjadi masalah global tidak hanya di negara maju tetapi juga pada negara berkembang dan penyakit ini sangat mematikan.
“Terjadi perubahan gaya hidup pola makan dan aktifitas fisik yang kurang, menjadi pemicu semakin meningkatnya penyakit tersebut. Indonesia pun dan Kota Makassar mengalamani hal yang sama dalam kasus ini,” jelas Prof Ridwan dalam presentasinya.
Oleh karena itu, Prof Ridwan dalam penelitiannya memberikan rekomendasi tentang pentingnya dukungan emosional dukungan keluarga dan masyarakat serta olahraga teratur terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat khususnya pasien DM.
Pada kesempatan yang sama, Prof Sukri Palutturi, SKM., M Kes., MSc PH,PhD yang juga sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan FKM Unhas berada digroup Health System and Policy, menyampaikan materi tentang, “Healthy Cities Awards: Expectations and Challenges”.
Prof Sukri Palutturi mengatakan, Peraturan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 menjadi panduan dalam penyelenggaraan kabupaten/kota sehat (Healthy Cities) di Indonesia.
“Terdapat sembilan tatanan kabupaten/kota sehat yang ditetapkan secara nasional misalnya, kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum; kawasan transportasi dan perhubungan sehat; tatanan pariwisata sehat; dan tatanan kehidupan masyarakat yang sehat dan mandiri,” sebut Prof Sukri.
Tatanan ini, kata Prof Sukri, berlaku sejak nasional namun dalam implementasinya dapat dipilih pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan, kesepakatan dan potensi masyarakat dan daerah, namun dua tatanan wajib yang harus dipilih yaitu kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum dan tatanan kehidupan masyarakat sehat dan mandiri.
“Dua tatanan ini banyak menyentuh aspek-aspek lingkungan dan setting yang lebih kecil misalnya pasar sehat, dan sekolah sehat dan masalah kesehatan secara keseluruhan,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, saat ini di Indonesia terdapat kecenderungan bahwa penyelenggaraan kabupaten/kota sehat di Indonesia seperti lomba, seluruh energi dikerahkan saat menjelang penilaian terutama yang berkaitan dengan aspek administratif sementara esensi penyelenggaraan tidak tercapai.
Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan ada Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok sebagai salah satu poin penilaian misalnya sementara pada saat yang sama kita menemukan petugas atau pelaksana kabupaten/kota sehat yang sedang merokok.
“Dari hasil kajian di lapangan, ditemukan bahwa hampir semua penyelenggara kabupaten/kota menginginkan yang namanya penghargaan Swasti Shaba karena dianggap ini sebagai sumber motivasi untuk bekerja tetapi tantangan yang dihadapi adalah pentingnya tim pembina kabupaten/kota sehat terlibat secara maksimal sehingga bukan hanya forum yang terlibat,” ungkapnya.
“Demikian pula dukungan pemerintah pusat tidak hanya hadir dan terlibat pada saat penilaian tetapi dukungan dalam bentuk program, anggaran atau fasilitas pada daerah yang berhasil mendapat penghargaan,” pungkasnya.(*)