Yogyakarta, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas), Prof Sukri Palutturi, SKM., M Kes., MSc PH, PhD., yang juga sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kemitraan, mendapat kehormatan menjadi pembicara kunci pada 5th International Conference of Public Health yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta di Hotel GQ, 3-4 Juli 2019.
Prof Sukri yang juga merupakan Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Provinsi Sulawesi Selatan itu berbicara mengenai Situation, Opportunities, and Challenges of Indonesia in SDGs Era in Realizing Healthy Cities.
Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bagaimana hubungan antara SDGs dan Healthy Cities. Menurutnya, terdapat kesamaan dalam konteks konsep, tujuan dan indikator antara SDGs dan Healthy Cities meskipun keduanya menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda.
“Sebagai contoh pada SDGs terdapat no poverty dan zero hunger, sementara di Healthy Cities mengukur income per kapita sebagai indikator umum, dan juga menetapkan tatanan ketahanan pangan dan gizi, yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan dan menghilangkan kemiskinan dan kelaparan tersebut,” jelas Prof Sukri.
Pada SDGs, kata Prof Sukri, terdapat kesehatan yang baik dan kesejahteraan, sementara di Healthy Cities terdapat setting yang disebut kehidupan masyarakat yang sehat. Dalam tatanan ini menurut Prof Sukri, berkaitan dengan aspek-aspek kesehatan, penyakit menular dan tidak menular dan pelayanan kesehatan. Tatanan tersebut ditangani oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
“Persamaan lainnya, misalnya adalah kesamaan prinsip. Baik SDGs maupun Healthy Cities menetapkan pembangunan iklusif dalam kaitan dengan gender dan kesetaraan dalam hal pembangunan menjadi hal yang sangat penting,” terangnya.
Demikian pula dengan partnership dan keberlanjutan merupakan prinsip bagi keduanya. Artinya baik SDGs maupun Healthy Cities mengakui bahwa pembangunan berkelanjutan itu merupakan hal penting untuk harus diwujudkan dengan pertimbangan bahwa tujuan pembangunan tersebut bukan hanya untuk kepentingan generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang dan tujuan pembangunan tersebut hanya dapat dicapai dengan memperkuat kolaborasi dengan semua stakeholder.
Prof Sukri juga mengusulkan definisi baru mengenai Healthy Cities di Indonesia. Jika memperhatikan definisi yang ada, maka nampaknya definisi ini dirancang untuk kepentingan program bukan pada esensi pencapaian Healthy Cities yang sesungguhnya.
Definisi Healthy Cities (kabupaten/kota) yang ada adalah bahwa kabupaten/kota sehat adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih (Clean), nyaman (comforatbel), aman (safe) dan sehat (healthy) untuk dihuni penduduk yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah.
“Penggunaan kata sehat dalam definisi tersebut adalah ibarat jeruk makan jeruk, mestinya sehat diukur dari aspek kebersihan, kenyamanan dan keamanan yang berkelanjutan. Selain itu, juga memperhatikan keterlibatan sumber daya masyarakat dan esensi tujuan yang ingin dicapai adalah kesehatan dan lingkungan yang lebih baik,” terangnya.
Berbagai kesempatan dan tantangan dalam implementasi Healthy Cities di Indonesia menjadi kajian yang menarik dibahas pada sesi konferens internasional tersebut.
Pembicara lainnya yang juga hadir pada plenary session yaitu Assoc. Prof. Dr. Kraichat Tantrakarnapa dari Thailand, Dr. Surahma Asti Mulasari, S.Si., M.Kes. dari Indonesia, Assoc. Prof. Dr. Ahmad Taufik Jamil dari Malaysia.
Sementara pada plenary session kedua yang menjadi pembicara adalah Prof. Hung Yee Shu dari Taiwan and Vasenev Vycheslav, PhD dari Rusia. (*)