Sejak berjalannya tes yang belakangan viras di media sosial mengenai tes Pegawai Pemerintah dengan Pernjanjian Kerja (PPPK) bagi guru honorer yang sudah lama mengabdi dan telah berusia puluhan tahun. Sebuah surat terbuka tentang kisah seorang guru honorer dan sepatu usang. Guru berusia 57 tahun itu tak lolos tes seleksi.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun angkat suara soal ini.
Kemendikbudristek menyadari ada guru honorer yang tak lulus seleksi PPPK. Namun, Kemendikbudristek memastikan honorer yang tak lolos masih dapat mengikuti tes seleksi tahap II dan III untuk menjadi guru ASN PPPK.
“Bagi peserta tes yang belum mencapai nilai batas kelulusan, Panselnas Seleksi Guru ASN PPPK 2021 memberikan kesempatan untuk mengikuti tes seleksi tahap II dan tahap III,” jelas Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Ristek Anang Ristanto saat dikonfirmasi, Minggu (19/9/2021).
Menurut dia, kesempatan ini bisa dimanfaatkan oleh guru untuk belajar kembali agar bisa mencapai nilai batas kelulusan pada seleksi kompetensi tahap II dan III. Dia menyampaikan nilai ambang batas atau passing grade sangat dibutuhkan dalam tes seleksi guru ASN PPPK.
“Untuk menjamin bahwa setiap peserta tes yang dinyatakan lulus memiliki pengetahuan minimal yang dibutuhkan untuk menjadi guru ASN PPPK,” kata Anang.
Dia juga memastikan pihaknya mempertimbagkan lama masa kerja tenaga honorer dalam penerimaan PPPK. Dalam hal ini, Kemendikbud memberikan nilai afirmasi sebagai penghargaan kepada peserta tes yang telah memenuhi kriteria atau spesifikasi tertentu.
“Misalnya afirmasi kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik, guru honorer K2, guru berumur lebih dari 35 tahun, dan guru disabilitas,” ucap Anang.
Sebelumnya, cerita guru honorer selalu menyedot perhatian banyak orang. Apa lagi jika guru tersebut sudah berusia senja, seperti dialami oleh seorang guru honorer berusia 57 tahun.
Guru tersebut tak lolos tes seleksi Pegawai Pemerintah dengan Pernjanjian Kerja (PPPK), baru-baru ini. Hal tersebut diketahui setelah ia menjalani tes tersebut untuk menjadi guru dengan status PPPK dari Kabupaten Tulung Agung, Jawa Timur.
Kisah pilu itu kemudian ditulis oleh seorang perempuan bernama Novi Khassifa. Ia menyebut dirinya pengawas ruang PPPK TUK SMKN 1 Praya, Nusa Tenggara Barat. Novi kemudian membagikan surat terbuka lewat akun Facebooknya @Bintu Nahl.
Novi mengklaim ia menulis surat untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim itu dengan berurai air mata. Ia mengawalinya dengan sepatu tua yang lusuh.
“Yang terhormat, Mas menteri Nadiem Makarim. Tak adakah rasa ngilu di dalam dada mas menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini?Memang benar sepatu tua ini terlihat bermerek, tetapi tahukan ini hanya sepatu loak apkiran,” tulis Novi.
Novi menjelaskan, sepatu itu telah dipakai bertahun-tahun oleh si empunya. Seorang guru dengan pakaian putih lusuh dan celana hitam yang warnanya sudah tak hitam lagi karena pudar.
Novi melanjutkan, mendekati usia senja ia masih setia mengajari anak-anak di pelosok negeri ini membaca dan mengeja. Meski saat itu ia putus pengharapan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak.
“Beliau tetap semangat. Tak sekedar mengajar tetapi mendidik dan gaji di bawah lima ratus ribu sungguh tak cukup untuk makan sebulan. Apalagi untuk membeli sepatu. Terpaksa di saat pulang mengajar beliau mencari pendapatan tambahan sebagai pekerja serabutan,” papar Novi.
Tahun ini, kata Novi, Nadiem memberikan secercah harapan untuknya. Prograam PPPK memberikan harapan kehidupan yang lebih layak.
“Tetapi tahukah mas menteri? soal-soal yang mas menteri berikan hanya teori belaka saja. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya. Soal-soal yang membuat beliau terseok-seok ketika memegang mouse dan membuat kepalanya pening,” urai Novi.
Akhirnya, passing grade pun tak diraih. Pecahlah tangis beliau di dalam hati. Terlihat jelas ketika nilai-nilai itu terpampang di layar monitor. “Beliau terdiam seribu bahasa. Entahlah, apa yang dipikirkan. Melihatnya sayapun ikut terisak,” tutur Novi.
“Memang benar beliau tak secerdas, sejenius, sekreatif mas menteri. Tetapi beliaulah yang menjadi pelita di tengah gulita buta aksara di pelosok negeri,” imbuh Novi.
Gagap Teknologi
Bagi Novi, guru tersebut tak pandai teknologi, tetapi tanpa teknologi ia mampu membuat anak-anak negeri ini merangkai kata dari A hingga Z. Ia juga mampu membuat anak berhitung hal-hal dasar untuk memahami hidup.
“Memang benar para muridnya sebagian besar menjadi TKI dan TKW. Tapi tahukah mas menteri, bukankah mereka juga merupakan pahlawan penghasil devisa negara tercinta ini? Beliau mempunyai andil yang besar dalam membangun negeri tercinta ini,” kata Novi lagi.
Novi berharap Nadiem Makarim memberikan keringanan untuk melihat guru itu agar bisa menikmat masa tua dengan sepatu dan kehidupan uang layak. “Tak usah diperumit,” harap Novi.
“Jika tidak ada kebijakan untuk mengangkat derajat mereka, setidaknya di surga besok sepatu ini akan menjadi saksi bahwa ilmu yang beliau ajarkan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan umat,” tegasnya.(*)