Oleh: Nurhayana Kamar
Akhir-akhir ini, guru sering mendapatkan intimidasi. Bahkan perlakuan kasar atau kekerasan. Mulai dari orang tua siswa sendiri, bahkan murid pun sudah ada yang lancang kepada gurunya. Tragisnya lagi, ada guru yang sampai harus mendapat perawatan di rumah sakit akibat kekerasan.
Dulu, guru sangat dihormati. Sangat ditakuti. Sangat disegani. Tidak hanya siswa, juga orang tua siswa. Begitu siswa meninggalkan rumah menuju ke sekolah, orang tua siswa sudah menyerahkan tanggung jawab anaknya kepada sekolah dan guru.
Tanpa guru, apa jadinya manusia-manusia di bumi. Zaman dahulu, ada yang namanya ‘’jahiliyah’’, serba kebodohan. Itu karena belum ada sekolah, belum ada tempat menimba ilmu. Karena tidak ada guru. Kalau pun ada orang yang pintar, anak yang cerdas, karena otodidak. Menggunakan sendiri akalnya.
Guru atau sekolahlah yang ‘’pemilik’’ si anak di sekolah. Khususnya memberi bekal ilmu kepada siswanya, agar kelak berguna bagi masyarakat, bangsa dan tanah air. Bekal dari gurulah, anak usia sekolah, bisa melek huruf. Kemudian mmelanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama, semakin meningkat kecerdasannya.
Lalu lanjut ke sekolah lanjutan atas, mulai berbekal skill. Dan ke perguruan tinggi yang sudah menjurus ke skill atau keterampilan. Apa jadinya bila tanpa guru? Intinya, guru adalah orang tua di sekolah.
Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Di zaman kenabian, para pewaris nabi -begitu julukan mereka kepada para pemegang kemulian ilmu agama.
Itu, khusus di bidang agama. Para pengajar ilmu agama mulai dari yang mengajarkan alif ba ta…….Di bidang keilmuan umum, pengajar mengajarkan huruf, mulai dari A sampai Z. Anak yang belum menduduki bangku sekolah, ibaratnya sebuah kertas putih, yang belum ditulisi. Nanti setelah masuk sekolah, barulah kertas putih itu tertulisi.
Kecuali, bagi anak yang sudah ditempa duluan orang tuanya. Pintar sebelum masuk sekolah. Sudah mengenal huruf abjad dan huruf Arab.
Namun tidak banyak anak yang mendapatkan tempaan tersebut. Biasanya yang kehidupan orang tuanya berduit. Yang menengah ke bawah? Biasanya menunggu, waktu usia sekolah anaknya. Artinya, mengandalkan bekal ilmu dari guru kan?
Lalu kenapa tidak menghargai guru? Apakah tidak ikhlas menerima pelajaran darinya? Kalau bukan dari guru, dari mana mendapatkan ilmu?
Ada pesan Rasulullah Muhammad SAW. “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR Ahmad).
Tersirat dari perkatanya shallahu ‘alaihi wa salam bahwa mereka para ilmuwa wajib di perlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi seorang murid.
Seperti apakah adab yang baik kepada seorang guru? Menghormatinya. Para Salaf, suri teladan untuk manusia setelahnya telah memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu berkata,
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (HR Bukhari).
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan berkata, “Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.
Berkata Abdurahman bin Harmalah Al Aslami, “Tidaklah seseorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja”. Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Demi Alloh, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Al–Imam Baihaqi, Umar bin Khattab mengatakan, “ Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Al Imam As Syafi’i berkata, “Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Alloh Ta’ala berfirman, “Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).
Sungguh mulia akhlak mereka para suri tauladan kaum muslimin, tidaklah heran mengapa mereka menjadi ulama besar di umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.
Meski demikian, Guru pun perlu menahan diri, tidak melakukan kekerasan bila ada muridnya yang punya perlakan yang tidak senonoh. Serahkan ke Guru BP untuk diberikan pembinaan. Bila tetap saja tidak sabar, antar dia kerumahnya dan pertmukan kepada orang tuanya, dengan melaporkannya kelakuannya.
Demikian itulah salah satu kiat, bagaimana mewujudkan proses pembelajaran di sekolah. Agar tercipta luaran – luaran yang berkualitas. (*)