Hai

Penulis: Amoreyza Etniko

Seperti apa hubungan kata “Hai” dengan sistem “Pembelajaran Daring”? Jika dimintai jawaban secara akademik maupun saintifik, sudah jelas, sama sekali tidak ada hubungannya.

Namun bila iseng-iseng dicari jawabannya, ada saja pertalian diantara kedua hal ini.
Dalam usaha mencari pertalian tersebut, pertama-tama, kita harus sadar dulu akan identitas kita sebagai Bangsa Indonesia.

Bagaimanapun, Orang Indonesia itu, terkenal dengan keramahannya. Melakukan sapaan ke orang lain menjadi semacam lalapan, bahkan di beberapa daerah dianggap sebagai suatu keharusan; berhubungan dengan tata krama sampai budaya.

Adapun kata sapaan yang sering digunakan ketika menyua seseorang adalah kata “Hai”. Namun yang perlu dicatat, penyebutan kata ini beraneka, ada yang mengucap “hey”, “heuyy”, “woyy”, “uyy” dan sebagainya—bergantung pada diakritik yang tentunya berbanding lurus dengan letak geografis.

Biasanya, penggunaan kata “Hai” juga diiringi dengan beberapa kata di belakangnya. Misalnnya, “hai, apa kabar?”. Bisa juga, “hai, kok sekarang gendutan sih?”.

Bahkan ada juga yang: “hai, skripsinya belum selesai aja kelihatannya, ada rencana lulus kapan?”—ini yang kurang ajar! Ini yang bikin mahasiswa tingkat lima macam saya agak jeri ketika mendengar kata “Hai”.

Jujur saja, saya pun tak tahu siapa pencipta kata ini, dan bagaimana asal serta usulnya sehingga kerap digunakan sebagai kata sapaan.

Tapi yang jelas, seberapa pun berkesan nya orang lain menyapa kita, hal itu hanyalah sebuah ucapan yang seringnya tidak dibarengi dengan suatu tindakan.

Ambil contoh ketika ditanyai kabar. Ketika kita menjawab sedang tidak baik- baik saja, misalnya sedang mengidap sembelit, apakah teman kita akan membelikan obat Vegetoss yang katanya ampuh mengobati sulit buang air besar itu, atau tidak? 9 dari 10 orang yang saya tanyai menjawab bahwa, sudah tentu, tidak akan membelikan nya.

- Iklan -

Sayang duit, takut menjadi ketergantungan dan tidak ingin merepotkan diri sendiri menjadi alasannya.

Artinya, sapaan yang dilontarkan seseorang—kendati ia berniat sopan dan beradab—kerap kali dimaksudkan sebagai formalitas belaka. Nah, di sini pertalian atau benang merahnya itu: formalitas.

Pembelajaran daring nampaknya hanyalah sebuah formalitas yang dilakukan oleh Pemerintah di masa pandemi ini.

Dua tahun lamanya dalam melakoni, tak beda dengan “hallo and goodbye meeting”. Sekedar mengikuti tata cara, menjalankan tanggung jawab, sehingga terkesan seperti basa—yang kemudian—basi.

Pada awal pelaksanaannya, pertengahan Maret 2020 lalu, keripuhan menjadi semacam konsekuensi.

Semuanya gaduh, baik itu staff universitas/fakultas, pengajar, maupun para siswa/i. Ada yang terkendala kuota, spesifikasi smartphone, sinyal, dan sebagainya.

Bahkan ada juga yang bingung bagaimana cara menghidupkan mic di aplikasi Zoom—kalau ini saya.

Seiring berjalannya waktu, kendala-kedala tersebut hilang dengan sendirinya. Namun, gemuruh keripuhannya tetap saja tak terelakkan. Semuanya seolah hanyut dalam riuh-rendah habituasi.

Kehanyutan ini bukan saja membuat akrab berhajat hidup dalam bingkai digital, akal budi pun ikut tersumirkan; pemangku kebijakan seolah gagal menerka kemungkinan-kemungkinan terburuk.

Contohnya? Tak adanya regulasi yang secara lengkap mengatur pengawasan dalam belajar-mengajar di masa pandemi.

Padahal, di masa pembelajaran seperti ini, besar potensinya terjadi perilaku-perilaku tidak etik dalam kehidupan akademik.

Pertanyannya kemudian, mengapa regulasi terkait pengawasan ini begitu penting sehingga mendesak adanya? Sebab, kebebasan yang tidak diatur-diawasi— apalagi terjadi di masa darurat seperti pandemi ini—dikhawatirkan bakal melahirkan generasi lancung cum berlagak formalistis pula di kemudian hari.

Dalihnya? Semua dari kita tahu bahwa tiap manusia memiliki kontrol diri yang berbeda; dan siswa/i mendapatkan kebebasan yang (relatif) absolut dalam melakukan pembelajaran daring ini.

Kebebasan sendiri kerap kali merenggut kehormatan diri. Atas nama kebebasan, seseorang dapat membenarkan segala cara, dengan tujuan: menyenangkan dan melapangkan jalan bagi diri sendiri.

Baik-buruk, benar-salah, tak menjadi soal bila sudah terkungkung angan kebebasan. Maka dari itu, dalam kehidupan akademik, kebebasan (yang tak diatur-diawasi dengan baik) dapat menghantarkan individu pada gelanggang kelancungan.

Fenomena yang terjadi pun demikian. Misal saja hasil survei yang dilakukan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, yang menujukkan bahwa meningkatnya intensitas pembelajaran daring berbanding lurus dengan peningkatan plagiarisme.

Fenomena yang lainnya juga menunjukkan maraknya perilaku manipulatif ketika melakukan pembelajaran melalui aplikasi tatap muka—misal: hadir di room Google Meet tapi malah sibuk scroll beranda Tik-Tok atau media sosial yang lain.

Bahkan, ada juga yang melakukan discord (kerja sama via daring) saat melaksanakan ujian tulis.

Masalahnya, perilaku lancung dalam kehidupan akademik merupakan suatu hal yang berkesinambungan.

Beberapa penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa perilaku tidak etik di lingkungan pekerjaan—seperti minimnya etos kerja, kemalasan, bahkan korupsi—berkorelasi secara signifikan dengan berbagai perilaku curang yang dilakukannya ketika menjalani pendidikan formal.

Artinya, secara implisit, dapat diartikan bahwa ketidakbecusan dalam melaksanakan pekerjaan merupakan akibat dari perilaku-perilaku melantur yang terakumulasi sedari masa sekolah.

Kendati sama sekali tidak ingin mengamini, perilaku melantur yang dilakukan dalam pendidikan formal di masa pandemi ini adalah suatu hal yang amat bisa ditoleransi.

Sebab, perilaku-perilaku tersebut dibuahkan dari kausalitas antara dua entitas, para pemangku kebijakan dan peserta didik.

Mungkin, perasaan sah-sah saja dalam berlaku lancung di masa pembelajaran daring—yang dialami para siswa/i— dapat menyembul dikarenakan tidak adanya pengawasan dan juga bisa bebas dari berbagai setrap ketika berbuat curang.

Apalagi pembelajaran nya itu terkesan formalistis. “Kalau ada yang gampang, kenapa harus milih yang ribet?”, begitu kira- kira jargonnya.

Yang jelas, yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa: akibat buruk adalah konsekuensi yang akan selalu mendominasi iktikad-iktikad yang terlahir dari motìvasi formalistis. Semacam hukum karma.

Atau mungkin hukum evolusi Darwin?

Yang di mana, pemangku kebijakan—yang tidak membuat seperangkat aturan untuk mengawasi pelaksanaan pembelajaran daring, sehingga seolah memberikan karpet merah bagi para siswa/i untuk berlaku curang—sebenarnya hanya ingin menciptakan situasi yang sekiranya dapat memberikan kemampuan pada peserta didik agar bisa bertahan dalam ekosistem kehidupan nyata yang, kita semua tahu penuh dengan: ucapan “Hai”, hal-hal yang formalistis dan kelakuan-kelakuan lancung.

Benarkah seperti itu? Entahlah. Saya rasa tak penting juga hukum jenis apa yang mendasari motivasi para pemangku kebijakan itu.

Yang paling penting, kita harus ingat dan sadar, bahwa dalam ekosistem kehidupan Warga Negara Indonesia, kemanunggalan yang bernaung dalam keidealan itu acap kali direwelkan.

Ia, yang manunggal itu, memang dapat secara bebas mengarungi waktu, namun tak melulu tembus ruang; kadang membikin jijik, sehingga banyak yang menjauhi.

Kepandiran yang dijumudkan adalah yang membuahkan ruang-ruang semacam itu.
Dan hari-hari ini, kita, para peserta didik, berada di bawah telunjuk yang menjumudkan kepandiran, sehingga: membikin kita untuk senantiasa mengisi serta melestarikan ruang-ruang semacam itu di kemudian waktu.

Ruang-ruang yang penuh keseganan, penghormatan yang tidak perlu, maupun yang sesak dengan ucapan “Hai”.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU