Bagi kaum Muslim, ibadah haji memang istimewa. Bagi sebagian mereka, ibadah haji boleh dikatakan menjadi ‘puncak spiritual’ mereka. Dilansir dari Bulletin Kaffah no.251 (16 Dzulhijjah 1443 H/15 Juli 2022 M.)
Tidak aneh, meski kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, kerinduan untuk pergi kembali ke Tanah Suci sering hinggap di kalbu setiap Muslim yang pernah merasakan ‘nikmat’-nya beribadah haji.
Karena itu, bagi yang punya kemampuan finansial lebih, dia bisa menunaikan ibadah haji berkali-kali. Tentu karena pengalaman ‘puncak spiritual’ ibadah haji yang ingin berkali-kali pula mereka alami.
Yang menarik, dalam beberapa riwayat, keutamaan ibadah haji disandingkan dengan kemuliaan jihad.
Baginda Nabi saw., misalnya, pernah bersabda: وَفْدُ اللهِ ثَلاَثَةٌ : اَلْغَازِي، وَ اْلحَاجُ، وَ الْمُعْتَمِرُ
“Duta Allah itu ada tiga:
1. Orang yang terlibat perang (di jalan Allah),
2. Orang yang beribadah haji dan
3. Orang yang berumrah.”
(HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Beliau juga pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama ?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi ?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa lagi ?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Dua hadis tersebut menyandingkan keutamaan ibadah haji dengan kemuliaan jihad.
Hadits pertama sama-sama menyebutkan orang yang pergi berjihad dan yang pergi berhaji sebagai duta-duta Allah SWT. Adapun hadits kedua malah menempatkan jihad di urutan pertama sebelum haji.
Haji dan Aspek Perjuangan
Karena itulah, pada masa lalu, khususnya di Nusantara, sesungguhnya kaum Muslim tidak membedakan antara keutamaan haji dan jihad. Haji dan jihad menjadi dua amalan utama yang sama-sama dirindukan oleh umat.
Buktinya, pada era kolonial abad ke-19 dan awal abad ke-20, misalnya, jamaah haji yang kembali ke Tanah Air banyak menginspirasi bahkan memimpin jihad secara langsung melawan para penjajah Belanda di Nusantara.
Jamaah haji yang pulang ke Tanah Air tersebut membawa spirit jihad dan perlawanan terhadap penjajah dari para ulama yang tinggal di Makkah, termasuk para ulama Nusantara yang hingga akhir abad ke-19 banyak bermukim di Makkah.
Berbagai perlawanan terhadap para penjajah banyak dipelopori oleh para haji. Di antaranya perlawanan kaum paderi dan adat melawan penjajah Belanda pada tahun 1833. Di Banten, pada tahun 1888 terjadi perlawanan rakyat terhadap penjajah Belanda yang diinspirasi dan dipimpin oleh Haji Wasid, Haji Abdul Karim, Haji Akib dan Ki Tubagus Ismail.
Di daerah Jawa Barat lainnya, yakni di Garut, terjadi perlawanan rakyat terhadap penjajah yang zalim dipimpin oleh Haji Hasan pada tahun 1919.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Tambun (Bekasi) dan Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh dan haji di Desa Pangkalan Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan ucapan “Allahu Akbar”.
Perlawanan terhadap kezaliman kolonial yang mayoritas diinspirasi dan dipimpin oleh para haji menjadi bukti bahwa pelaksanaan haji pada masa itu sangat kental dengan nuansa perjuangan bahkan sangat ideologis. Mereka melawan dan mengusir penjajah kafir yang zalim dari negeri-negeri kaum Muslim.
Sebaliknya, saat ini, walau Dunia Islam masih terjajah, baik dijajah secara militer maupun politik dan ekonomi, perlawanan jihad terhadap penjajah tidak pernah kita dengar digaungkan oleh para haji dan para ulama.