Hak Pekerja Perempuan yang Terabaikan

Penulis: Westy Tenriawi, SKM, M Kes (Dosen Kesmas Unhas)

Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Hari ini kita memperingati hari dimana para “manusia’ yang bekerja dengan waktu sebagai salah satu  pemasok devisa di Negara kita.

Biasanya yang akan kita lihat adalah potret dimana, hampir semua ruas jalan dipenuhi manusia diseluruh pijakan aspal di Negeri tercinta kita, berdiri, menekik panas dan dahaga, menyuarakan dan merefleksikan sebuah pesan kepada mereka yang seharusnya mendengar dan melihat apa yang sudah disumbangkan dalam tiap tetesan keringat yang keluar bagi lumbung ekonomi seluruh sendi-sendi waktunya yang telah dikorbankan.

Mereka yang yang keluar menyuarakan hak itu adalah para Buruh, dalam peringatan hari jadinya sebagai wujud eksistensinya sebagai salah satu pemasok devisa negara dengan segala macam hitungan dan konsekuensinya.

Namun hari ini, kita akan memperingatinya tetap dalam suasanan dan semangat Buruh sebagai pengingat kita kepada mereka dengan segala jasa yang kadang tidak diperhitungkan mungkin dan sepertinya di rumah saja.

Selain laki-laki, perempuan yang ikut bekerja juga adalah buruh, mereka semua ini  yang kemudian disebut “Tenaga Kerja” dalam statusnya ini adakah dalam proses berjalannya tugas dan tanggung jawabnya sebagai pekerja dikedepankan, dan diprioritaskan untuk kemudian diperhatikan agar segala bentuk pekerjaan yang dilakoninya baik secara kuantitas maupun kualitas.

Sehingga perempuan-perempuan tanpa lelah ini bisa bekerja dengan aman dan produktif, bagi mereka yang bekerja dengan hitungan-hitungan sesuai standar operasional prosedur (SOP), melihat beban kerja, waktu kerja, lingkungan kerja, dan lain sebagainya, sebaiknya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka pihak perusahaan/kantor /instansi/organisasi terkait dapat memperhatikan.

Baca Juga:  Mengenal 9 Jenis Penulis: Beragam Karya, Aturan, dan Tujuan

Di samping itu, tidak memahami buruh sebagai elemen sosial yang diletakkan dalam relasi produksi semata.

Persoalan-persoalan yang sangat standar namun merupakan sebuah keharusan, seperti  pemenuhan hak-hak Pekerja perempuan, antaranya Cuti saat Haid, Cuti Hamil, terpenuhinya ruang Laktasi bagi Perempuan dalam konteksnya sebagai seorang “ Ibu” untuk tetap memberikan ASI kepada bayi dan balitanya meskipun dia adalah seorang Pekerja.

- Iklan -

Terlepas dari Keterlibatan buruh perempuan dalam sektor industri yang tidak sedikit karena persoalan dan masalah ekonomi.

Dalam hal tersebut, buruh perempuan dihadapkan dengan dua tuntutan peran yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah yang keduanya menuntut kewajiban dan tanggung jawab untuk dilakukan secara bersamaan.

Seringkali buruh perempuan mengalami dilema atas dua peran tersebut, perasaan bersalah kerapkali muncul ketika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan keberadaannya dalam keluarga.

Namun disisi lain terikat oleh jam kerja yang panjang dan tidak teratur membuat buruh perempuan sulit mengatur tugas dalam keluarga.

Untuk itu peran Pemerintah dan satkeholder serta pihak-pihak perusahaan mesti benar-benar mengedepankan persoalan-persoalan dalam lingkup dan kontek Buruh perempuan, pekerja yang tanpa batas lelah tetap menyumbangkan tenaga, fikiran dan waktunya.

Dimana pada perempuan yang sebagai pekerja sektor informal, dengan potensi besaran masalah lebih tinggi dan kompleks penanganan khusus dengan  pendekatan yang  bersifat  terintegrasi dan kompreensif .

Selain itu, menyangkut persoalan kesehatan reproduksi perempuan pekerja adalah isu yang bersifat inheren.

Baca Juga:  5 Bentuk Tubuh Wanita dan Tips Berpakaian yang Tepat

Perlindungan terhadap kesehatan reproduksi perempuan merupakan tuntutan spesifik dari HAM, khususnya hak perempuan, sehingga perlindungan tersebut mendorong lahirnya konsep hak perempuan atas kesehatan reproduksi sebagai HAM.

Hak atas kesehatan reproduksi merupakan hak asasi perempuan dalam kaitannya dengan hak atas kesehatan dalam rutinitasnya sebagai seorang buruh atau pekerja.

Hal ini, terlihat dari beberapa penelitian dan kajian analisis yang  terkait Perempuan Pekerja di Indonesia, menyagkut status dan hak-haknya, serta kondisi kesehatannya.

Dalam kajiannya, Ida Nuryantiningsih menyatakan bahwa: hak asasi perempuan pada hakikatnya sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yaitu: (1) Prinsip kebebasan paling luas dan sama bagi semua orang (the greatest equal liberty principles);

(2) Prinsip diferen (difference) untuk menjamin terpenuhinya tingkat minimum harapan sosial-ekonomi begi mereka yang kurang beruntung (the worse off) tanpa harus mengorbankan mereka yang lebih beruntung (the better off).

Oleh karena itu, hendaknya, dalam mendiskusikan mengenai HAM, yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah kepentingan pihak yang kurang beruntung, dalam hal ini kaum perempuan, sehingga dimunculkanlah konsep hak asasi perempuan.

Untuk itu bagi para pelaku Industri dengan segala kebijakannya seharusnya dan diwajibkan selalu megedepankan persoalan-persoalan kesehatan para pekerja perempuan dengan segala resiko dan problematika sosial yang di hadapinya.

Bahwa buruh adalah pahlawan yang entah terhitung mulai dari cucuran keringat hingga batas waktu yang dijalaninya. “Selamat hari buruh – Sehatkan Buruh Perempuan Indonesia”. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU