Hari Minggu yang Ditunggu-tunggu

Tanpa menjawab pertanyaan Muhsin yang merupakan tetangganya, Rafly memilih kembali merebahkan tubuhnya di atas batu yang dingin.

“Hei! Kau mau mati muda?” Teriak Muhsin memilih turun dari atas motornya.

“Ya. Mungkin mati lebih baik,” jawab Rafly tetap pada posisinya.

“Ck! Kau ini! Orang-orang pengen nikah muda, kau malah mau mati muda!” Muhsin sudah duduk di atas batu yang sama dengan Rafly.

“Kenapa kau ada di sini?” Lanjutnya.

“Kak Muhsin sendiri kenapa bisa ada di sini?”

“Aku bertanya padamu, mengapa kau bertanya balik? Ya, kau tau sendiri aku baru pulang dari memetik buah durian”

“Durian?” Rafly segera membuka matanya lebar-lebar, Rafly sangat suka buah durian, orang tuanya tak mampu membelikan buah durian, tapi untungnya ia memiliki tetangga baik seperti keluarga Kak Muhsin, sehingga setiap panen, ia selalu diberikan buah durian secara cuma-cuma.

“Mau?” Tanya Muhsin dengan senyuman jahil.

- Iklan -

Sedangkan Rafly sudah menganggukkan kepalanya penuh semangat.

“Tapi harus kasih tau dulu kenapa kau bisa sampai kesini.”

Awalnya Rafly ragu tapi demi durian, ia pun setuju.

Akhirnya mereka makan buah durian bersama, langit yang sudah berwarna jingga menghiasi hari-hari mereka yang tengah berbagi cerita.

“Jadi, kau marah pada Bapakmu karena tak pernah memberikan apa yang kau mau?” Tanya Muhsin dengan mulut yang dipenuhi durian.

Dan Rafly hanya mengangguk lemah, jauh dilubuk hati ia juga menyesal mengapa bisa seegois ini sampai ia meneriaki Bapaknya dan lari kedalam hutan.

“Waktu aku seusiamu, aku juga bermain, tak jarang aku menginginkan apa yang orang-orang miliki, anak yang baru memasuki kehidupan orang dewasa memang tak akan mengerti, mereka hanya mengikuti keinginan mereka sendiri, karena mereka belum tahu arti berusaha yang sesungguhnya kan, waktu kita masih kecil, segala kebutuhan kita dipenuhi oleh orang tua kita, walau mungkin orang tua tak memberikan apa yang kita inginkan, tak memberikan apa yang sebenarnya kita butuh kan, tapi,” Muhsin memberi jeda beberapa detik untuk mengambil nafas dalam-dalam, mengingat dulunya ia pun pernah berada diposisi Rafly.

“Tapi, percayalah. Orang tua kita sudah melakukan yang terbaik, berusaha mengabulkan semua keinginan kita yang hanya tahu meminta, tanpa tahu seberapa keras orang tua mewujudkan segala keinginan kita, pernahkah orang tua meminta sesuatu dari kita, kemudian jika kita tak mampu memberikannya apakah orang tua kita akan berlari ke hutan dan tidur di atas batu seperti orang bodoh?” Muhsin melirik Rafly yang kini tengah menangis sesugukan.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU