Penulis: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo).
Hari Pahlawan 10 November bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi sebuah simbol keberanian yang terus hidup di tengah perjuangan rakyat Indonesia. Tahun 1945, semangat heroik arek-arek Suroboyo berkobar melawan kekuatan Sekutu demi mempertahankan kemerdekaan.
Kini, semangat perlawanan rakyat tersebut masih terasa dalam upaya rakyat di berbagai daerah untuk mempertahankan hak mereka dari dampak pembangunan yang sering kali merugikan.
Di Morowali, misalnya, masyarakat adat berjuang mempertahankan tanah mereka dari aktivitas tambang besar-besaran yang merusak hutan dan mencemari sungai sumber kehidupan mereka. Mereka khawatir akan kehilangan akses terhadap lahan pertanian dan sumber daya alam yang selama ini menjadi penopang hidup.
Di Tangerang, Serang, Banten, proyek PIK 2 di pesisir telah berdampak buruk bagi masyarakat sekitar, reklamasi besar-besaran telah mengubah ekosistem pesisir dan menurunkan kualitas hidup warga lokal.
Di Kalimantan, alih fungsi lahan untuk perkebunan dan tambang mengancam hutan tropis yang menjadi rumah bagi masyarakat adat dan habitat satwa langka. Di Papua, masyarakat adat terus menghadapi proyek-proyek besar yang mengekspolitasi tanah mereka tanpa memperhatikan kesejahteraan warga setempat.
Perlawanan rakyat ini adalah bentuk cinta mereka pada tanah air. Namun, mereka sering kali tidak mendapat dukungan pemerintah, yang seharusnya berdiri di sisi rakyat, bukan pihak-pihak yang lebih mementingkan keuntungan semata.
Hari Pahlawan 10 November ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah untuk berpihak pada rakyat. Komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidatonya, penulis memaknainya sebagai “Prabowo The Last Emperor” untuk menegakkan keadilan yang harus diwujudkan dengan tindakan nyata, seperti yang dilakukan para pendahulu bangsa ini, serta sejarah modern di negara-negara besar demokrasi yang menjunjung tinggi hak rakyat di atas kepentingan korporasi.
Di negara-negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat dan Jerman, pemerintahannya mendukung penuh rakyat dalam menghadapi proyek pembangunan yang dianggap merugikan.
Contoh nyata adalah perlawanan masyarakat adat di Standing Rock, Amerika Serikat, melawan pembangunan pipa minyak Dakota Access Pipeline. Meski menghadapi kekuatan perusahaan besar, perlawanan mereka didukung oleh publik luas dan sebagian besar pejabat yang mendukung hak rakyat atas tanah adat mereka, termasuk perlindungan air bersih. Masyarakat dari berbagai negara bagian datang membantu, dan akhirnya pemerintahan Joe Biden menyatakan dukungan untuk meninjau ulang izin proyek tersebut.
Contoh lain terjadi di Jerman, di mana masyarakat dan aktivis lingkungan bersatu melawan proyek penambangan batu bara di desa kecil Lutzerath. Proyek ini mengancam kelestarian desa dan menjadi permasalahan besar karena dampak lingkungannya.
Pemerintah Jerman, yang sebelumnya memberi lampu hijau untuk proyek tersebut, akhirnya menarik izin setelah mendapatkan tekanan kuat dari publik dan mempertimbangkan perlindungan iklim serta hak-hak masyarakat setempat. Ini menjadi contoh bahwa pemerintah dapat memilih berpihak kepada rakyat dan lingkungan, bukan pada keuntungan sesaat.
Di Indonesia, momen Hari Pahlawan ini dapat menjadi inspirasi bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk menunjukkan bahwa komitmen terhadap keadilan dan kemakmuran rakyat bukan sekadar kata-kata. Jika pendahulu kita dimasa lampau mampu buktikan, pemerintah di negara-negara besar tersebut mampu berpihak pada rakyat, maka Indonesia sebagai negara demokrasi pun seharusnya melakukan hal yang sama.
Salah satu langkah nyata yang dinanti adalah, ditengah kunjungan kenegaraan Presiden ke luar negeri, Presiden dapat segera perintahkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan jajarannya untuk segera mengambil tindakan dalam konflik yang terjadi di PIK 2, Banten, demi melindungi kepentingan rakyat dari dampak proyek tersebut.
Semangat perlawanan arek-arek Suroboyo di masa lalu kini hidup kembali di hati rakyat yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan lingkungan mereka, salah satunya seperti yang terjadi pada proyek strategis nasional PIK 2.
Peringatan Hari Pahlawan ini harus menjadi pemantik bagi pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat, bukan hanya seremonial. Jika janji untuk menegakkan keadilan dan menjaga kesejahteraan rakyat benar-benar diwujudkan, maka kita akan menyaksikan kebangkitan semangat yang berakar pada keberanian, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Inilah makna sejati dari Hari Pahlawan 10 November, hari ketika pemerintah dan rakyat berdiri bersama dalam cita-cita besar untuk Indonesia yang berdaulat, adil, dan sejahtera.
“Prabowo The Last Emperor” adalah sebuah harapan yang sangat besar bagi seluruh rakyat Indonesia, di tengah segala krisis yang kita hadapi. Jika Presiden Prabowo gagal dalam menegakkan komitmennya untuk melindungi rakyat dari kepentingan oligarki dan memastikan keadilan serta kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat, maka Indonesia ke depan akan sangat sulit mewujudkan cita-cita besar yang terkandung dalam konstitusi negara kita.
“The Last Emperor” bukanlah sekadar gelar, tetapi sebuah tanggung jawab besar pemimpin untuk memastikan bahwa bangsa ini tidak terjebak dalam cengkeraman kepentingan segelintir orang.
Keberhasilan atau kegagalan Presiden Prabowo dalam menjaga arah negara ini akan menentukan apakah Indonesia dapat menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat dan berpihak pada rakyat, atau justru terperosok dalam kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. (*)