Hentikan Kekerasan dalam Pengkaderan

Sejak kapan orientasi studi dan pengenalan kampus atau yang lebih dikenal dengan istilah ospek menjadi tradisi di kampus? Apakah memang dari dulu, ospek itu identik dengan kekerasan?

Oleh: Izabella Marche
Editor: Sriyanto AH

Kegiatan ospek merupakan warisan kolonial Belanda. Menurut beberapa sumber, kegiatan perpeloncoan sudah ada sejak 1898 di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Kala itu, peserta didik baru menjadi “jongos” para seniornya. Peserta didik tersebut diminta untuk membersihkan ruang kelas.

Aksi perpeloncoan tersebut terus terjadi setiap tahun dan sudah menjadi tradisi bagi setiap peserta didik baru di hari pertama mereka masuk sekolah. Pada 1927 hingga 1942, tradisi perpeloncoan masih terjadi di Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Meski kegiatannya dibuat menjadi lebih formal, namun aksi perpeloncoan tersebut seringkali tak lepas dari aksi kekerasan.

Tradisi perpeloncoan makin menjadi dengan meminta peserta didik baru mengenakan atribut tertentu dan membawa barang tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan pendidikan. Dalam praktiknya, ospek juga sering disuguhi dengan adegan ‘marah-marah’ para senior dengan dalih mendisiplinkan dan melatih mental peserta didik baru. Tak jarang, aksi itu juga berujung pada kekerasan secara fisik, hingga muncul korban jiwa.

Menanggapi tradisi perpeloncoan, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas), Sukri Palutturi dalam sebuah wawancara bersama FAJAR PENDIDIKAN mengatakan, perpeloncoan itu tidak benar, apalagi saat ini memasuki era industri 4.0.

Baca Juga:  Kick-Off HPN 2025, PWI Pusat Peringati Hari Pahlawan

“Jadi harus dibedakan mana pengkaderan yang sifatnya fisik dengan kekerasan. Kalau bentuknya olahraga-olahraga, itu tidak ada masalah. Malah dibutuhkan seperti itu. Tetapi kalau sudah perpeloncoan macam-macam yang dianggap suatu tindakan yang tidak manusiawi, itu kan tidak dibetulkan,” ujar Prof Sukri.

Misalnya, mahasiswa disuruh merayap, itu sudah sangat parah. Harusnya sudah tidak ada lagi yang seperti itu. “Apalagi era industri 4.0, masa’ orang disuruh merayap. Tidak ada,” papar Sukri kepada FAJAR PENDIDIKAN.

“Kalau untuk membangun mental, itu bisa dilakukan dengan banyak cara lain. Karena memang sistem pendidikan kita sudah berubah. Meskipun dalam praktiknya, perpeloncoan kadang-kadang sulit dihindari, tetapi ini harus dikontrol dengan baik,” tambahnya.

- Iklan -

Di FKM Unhas sendiri, telah diterapkan penandatanganan surat perjanjian oleh mahasiswa. Isi surat perjanjian terkait dengan peraturan-peraturan. Seperti dilarang merokok di area FKM Unhas dan sebagainya.

Selain itu, Sukri dalam menjalankan amanahnya sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, menerapkan strateginya untuk mengontrol setiap aktivitas mahasiswa. “Biasanya saya melibatkan banyak kelompok-kelompok mahasiswa. Saya harus petakan mahasiswa. Oh, ini kelompok ini,” ujarnya.

Ada beberapa senior-senior yang sangat dekat dengan Sukri. Mereka itu yang lebih banyak berkomunikasi dengannya. “Kalau misalnya adik-adik ke lapangan pengkaderan, terutama yang muslim, saya libatkan adik-adik yang di mushollah untuk mengawasi setiap kegiatan yang berlangsung. Harus ada strategi. Jadi prosesnya berjalan tetap dalam rambu-rambu,” paparnya.

Baca Juga:  Ilham Bintang dan Anwar Fuady Raih Lifetime Achievement Award FFWI 2024

“Saya lebih mengedepankan komunikasi. Yang kedua, yang namanya proses pengkaderan itu tidak boleh ada kekerasan. Jadi saya hanya menyiapkan rambu-rambu saja. Kita (pihak birokrasi kampus) terbuka, kita fleksibel, tetapi ada rambu-rambu. Kita harus bangun komunikasi yang baik. Kita harus saling percaya,” ungkapnya.

Tentang perpeloncoan, Sukri pun tidak membetulkan, apapun alasannya. Tetapi, katanya, memang ada namanya proses pengkaderan yang tetap harus diberikan kepada mahasiswa. “Karena itu juga merupakan bagian dari proses dan dinamika bagi mahasiswa,” tuturnya.

Ospek sudah menjadi menu wajib yang harus dilahap para mahasiswa baru, walaupun tidak semua kampus masih menjalankan tradisi perpeloncoan ini. Tapi sayangnya, kegiatan ospek lebih diisi dengan hal-hal negatif yang tidak mendidik.

Meski menuai sejumlah reaksi keras, namun kenyataannya, ospek justru merembes sampai tingkat SMA. Terkadang dilakukan oleh kakak kelas tanpa diketahui pihak sekolah. Biasanya, akan terbongkar setelah menelan korban.

Kini, memasuki era industri 4.0, sudah saatnya kegiatan ospek yang berbau kekerasan dihentikan, tak perlu lagi menunggu adanya korban jiwa. Jika ini dibiarkan, tentu saja sistem dan kualitas pendidikan di Tanah Air akan menuai sorotan negatif. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU