FAJARPENDIDIKAN.co.id – Setiap tahun, lebih dari 100 juta ekor hewan terbunuh di dalam laboratorium, berdasarkan data dari People for the Ethical Treatment of Animal (PETA). Mereka dikorbankan untuk berbagai kepentingan ilmiah.
Secara etis, percobaan yang mengorbankan hewan ini sering kali ditentang, terutama oleh para aktivis. Namun hal ini sering kali dilakukan demi kelangsungan hidup manusia. Mulai dari uji coba obat, vaksin, hingga penelitian penyakit tertentu.
Kecuali, jika eksperimen tersebut dilakukan untuk pembuatan kosmetik, skincare, fashion, dan lini produk lain yang bukan kebutuhan yang mendesak. Pengujian terhadap hewan di lini tersebut dapat digantikan dengan proses lain yang tidak mengorbankan mereka.
1. Tikus
Data dari Foundation for Biomedical Research (FBR) menunjukkan bahwa 95 persen hewan yang ada di laboratorium adalah tikus, baik tikus hitam maupun putih. Mereka biasanya melihat reaksi infeksi, penyakit, uji vaksin, obat, dan hal medis lainnya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan ilmuwan sering menggunakan tikus sebagai objek eksperimen. Dilansir LiveScience, yang pertama adalah alasan kenyamanan. Tikus berukuran kecil, mudah dirawat, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan laboratorium. Selain itu, mereka juga murah, tidak agresif, serta mudah berkembang biak.
Alasan lain kenapa tikus sering dipakai dalam eksperimen sains adalah karakteristik genetiknya mirip dengan manusia. Mulai dari proses tubuh, sistem organ, hingga penyakit yang mereka alami. Kesesuaian ini dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan penelitian.
2. Kelinci
Hewan lab berikutnya ada kelinci, khususnya kelinci albino. Dilansir NAVS, hewan bertelinga panjang ini biasa digunakan untuk prosedur yang melibatkan rasa sakit. Misalnya ketika menguji keamanan obat dan alat medis atau untuk mengukur tingkat toksisitas bahan kimia.
Untuk melakukan semua prosedur tersebut, kelinci sering kali tersiksa, keracunan, menjadi cacat, atau bahkan mati. Karena dinilai menyiksa hewan, pada tahun 70 hingga 80-an, kelompok pencinta hewan mengajukan eksperimen dilakukan di luar lingkungan biologis (di luar tubuh hewan).
3. Anjing
Hewan peliharaan yang satu ini juga tak luput untuk digunakan dalam eksperimen sains. Menurut laman American Anti-Vivisection Society (AAVS), anjing sering digunakan untuk meneliti penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan ortopedi.
Alasan ilmuwan banyak memanfaatkan anjing adalah obat dan vaksin biasanya harus diujikan kepada hewan pengerat dan bukan pengerat. Ini untuk mendapatkan hasil uji yang lebih akurat.
Jenis anjing yang biasa digunakan adalah anjing beagle karena ukurannya sedang dan tidak agresif. Mereka dibiakkan khusus untuk kepentingan laboratorium dan biasanya berusia kurang dari satu tahun.
Walaupun begitu, anjing tetap saja sulit beradaptasi dengan lingkungan laboratorium. Dilansir NAVS, mereka sering kali menunjukkan gejala seperti stres, ketakutan, tremor, hingga gelisah.
4. Hamster
Walaupun masih berada dalam satu keluarga dengan tikus, penggunaan hamster dalam lingkup eksperimen yang cukup berbeda. Dilansir Science Direct, hewan pengerat ini sering dimanfaatkan untuk meneliti infeksi virus RNA yang terjadi di dunia. Contohnya virus Ebola, hantavirus, virus demam kuning, dan lain sebagainya.
Kenapa mereka mahir dalam eksperimen virus? Sumber yang sama mengatakan bahwa ketika virus menyerang hamster, hewan itu akan menunjukkan gejala yang mirip dengan manusia. Tak hanya itu, mereka juga mampu menularkannya dengan cepat seperti yang terjadi di kaum kita.
Akan tetapi, sistem kekebalan hamster jauh berbeda dengan manusia. Inilah salah satu hal yang membatasi eksperimen sains pada hewan pengerat tersebut. Selain untuk penelitian virus, hamster juga digunakan sebagai model penelitian indra penglihatan, perasa, gigi, kanker, penyakit jantung, distropi otot, inflamasi, hingga asma.
5. Kucing
Hewan peliharaan lainnya yang juga terlibat dalam eksperimen sains adalah kucing. Hewan yang memiliki tempat spesial di hati masyarakat ini digunakan karena mereka familier dengan manusia dibandingkan primata. Mereka juga mudah untuk didapatkan.
Menurut penjelasan AAVS, kucing pada umumnya terlibat dalam penelitian neurologis, penyakit yang berhubungan dengan penglihatan, pendengaran, dan tidur. Tak hanya itu, hewan tersebut juga menjadi pilihan utama dalam riset HIV/AIDS karena kucing memiliki penyakit serupa, yaitu feline leukemia virus (FeLV).
Walaupun begitu, penelitian yang melibatkan kucing ini mayoritas bersifat invasif atau merusak. Kucing yang kesakitan karena eksperimen sering kali menjalani proses eutanasia atau dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya.