Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Banyak jalan yang ditempuh untuk menjadi kaya. Meskipun dengan cara yang haram. Tak apalah mencari pinjaman atau utang riba, yang penting bisa tentram dan hidup mewah. Itulah prinsip sebagian muslim di zaman modern seperti ini.
Hidup dengan yang Halal Lebih Tentram
Suatu yang haram asalnya tidak menentramkan jiwa. Dosa selalu menggelisahkan. Sama halnya dengan utang riba.
Awalnya meminjam dalam keadaan butuh, namun selanjutnya gelisah yang diperoleh karena dikejar-kejar debitur atau pemilik utang untuk melunasi utang. Karena hakekat riba adalah setiap utang piutang yang ada keuntungan atau manfaat di dalamnya.
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah manusia.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Karena ingat meminjam uang dengan cara riba juga terkena laknat.
Jika demikian, nasabah yang meminjam uang dengan cara riba pun terkena dosa.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Milikilah Sifat Qona’ah
Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah, itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan.
Padahal penghasilannya biasa, namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal, mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh.
Dan kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali pun seperti murabahah.
Menggunakan handphone biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat ini.
Cobalah kita belajar untuk memiliki sifat qona’ah, selalu merasa cukup dengan rizki yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak selalu melihat indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun masih terasa sejuk.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051).
Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam hal dunia, itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan akan selalu merasa cukup.
Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan).