Hukum Mengeluarkan Zakat Harta Gabungan Suami dan Istri

Oleh: Akhuukum Fillaah :

Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi

بسم الله الرحمن الرحيم

الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ

Tanamkanlah Budaya Membaca Sampai Selesai, Agar Tidak Gagal Faham. SELAMAT MEMBACA….!!

Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu di peroleh dengan jalan halal.

Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Hal tersebut di ungkapkan dalam pembahasan pembagian warisan.

- Iklan -

Allah Ta’ala berfirman:

*وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ*

“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang di tinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang di tinggalkannya. Warisan itu di bagi sesudah di penuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah di bayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. Warisan itu di bagi sesudah di penuhi wasiat yang kamu buat dan sesudah di lunasi utang-utangmu.” *[Qs. An-Nisa’ (4) : 12]

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya kalau istrinya sudah meninggal itupun dalam jumlah tertentu yang di tetapkan syariat. Begitu juga si istri.

Tidak bisa di pungkiri bahwa Istri juga memiliki harta yang dapat di peroleh dari bekerja, ataupun dari mas kawin, atau warisan orang tuanya dan sumber-sumber lainnya.

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Rabu, 30 Oktober 2024: Iman

Bahkan Allah Ta’ala melarang para suami untuk mengambil kembali harta yang pernah di serahkan kepada istrinya, seperti pemberian berupa mas kawin.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu ingin mencerai istrimu dan menikahi wanita lainnya, sedang kamu telah memberikan kepada istrimu itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari istrimu itu sedikit pun dari harta yang sudah kamu berikan.” [Qs. An-Nisa’ (4) : 20]

Karena harta itu sudah sepenuhnya milik si istri. Istri-lah yang berhak membelanjakannya atau mensedekahkannya sesuai keinginannya walaupun tanpa seizin suami. Suami hanya berhak mencicipi harta istrinya, itupun jika si istri ridho memberikannya pada suami.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi berupa pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika istrimu menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka silahkan makan (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [Qs. An-Nisa’ (4) : 4]

Suami-istri menggabungkan harta mereka dalam satu tabungan.

Pembahasan semisal ini di bahas oleh ulama dalam masalah “ZAKAT HARTA SYARIKAH” atau “HARTA GABUNGAN”

Yaitu, bila dua orang atau lebih menggabungkan harta mereka. Kalau di hitung harta perorang dari mereka maka nishob belum tercapai.

Namun, karena di gabungkan, maka hasilnya mencapai nishob. Kemudian harta ini dikelola dan diperlakukan seakan-akan harta yang satu.

Maksudnya, ketika harta ini di kelola oleh pihak ketiga misalnya, setiap pengeluaran dan keuntungan yang mengalir dianggap harta gabungan juga.

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Apakah harta gabungan yang sudah mencapai nishob di kenakan zakat…? ataukah tidak wajib zakat, jikalau harta perorang yang ikut andil dalam gabungan tersebut belum sampai nishobnya.

Dengan kata lain, sampai tidaknya nishob harta, apakah di tinjau dari sisi jumlah harta yang terkumpul atau dari sisi pemilik harta tersebut?

Pendapat yang kuat menurut hemat kami adalah, yang menyatakan bahwa nishob harta zakat selain dari hewan ternak, maka di hitung dari jumlah yang di miliki oleh pemilik harta tersebut.

Baca Juga:  10 Amalan dan 3 Kunci Kelancaran Rejeki Menurut Al-Quran

Contoh:

Apabila kita perkirakan nishob zakat harta adalah 50 juta rupiah. Bila ada 3 orang menghimpun modal untuk usaha masing-masing 20 juta rupiah, maka gabungan harta tersebut yang berjumlah 60 juta.

Walaupun tampaknya sudah lebih dari nishob, namun jika di tilik dari masing-masing pihak yang bergabung, uang mereka belum sampai nishob, maka gabungan harta tersebut belum terkena wajib pajak, karena belum sampai nishob.

Pendapat ini yang di nilai kuat oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Utsaimin, disebutkan oleh beliau dalam kitabnya Syarh Mumti’ jilid 6 hal 66.

Dengan demikian, bila suami dan istri keduanya mempunyai penghasilan tetap, kemudian menggabungkan uang mereka berdua dalam satu tabungan.

Maka wajib tidaknya zakat dalam harta tabungan itu tergantung sampai tidaknya nishob dari harta masing-masing mereka.

Idealnya, seharusnya mereka berdua menghitung pemasukan harta mereka masing-masing. Mungkin saja pemasukan suami lebih banyak dari pada si istri. Sehingga kemungkinan besar harta suami lebih cepat mencapai nishob dibandingkan harta istri.

Ketahuilah bahwa dalam harta peninggalan suami maupun istri ada harta yang di warisi oleh orang lain, seperti orang tua suami atau istri. Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan mengetahui jumlah harta masing-masing walaupun tidak terlalu mendetil, asalkan penghitungan ini tidak melahirkan sengketa dan pertikaian antar keluarga. Jangan sampai terjadi penguasaan istri terhadap harta suaminya ketika suaminya sudah meninggal. Begitu juga sebaliknya jika istri meninggal, jangan sampai suami menguasai seluruh harta istri.

Degan dalih harta ini adalah milik bersama. Karena, harta bersama pun bisa di ketahui prosentase harta dari andil masing-masing anggota.

 

•••┈┈┈┈┈┈┈◎🌻🌻📚🌻🌻◎┈┈┈┈┈┈•••

 

📗 _*Nantikan Pembahasan Selanjutnya:*_

_*“ANJURAN UNTUK MENYANTUNI ANAK-ANAK YATIM (Bag. 1)”*_

 

•••┈┈┈┈┈┈┈◎🌻🌻📚🌻🌻◎┈┈┈┈┈┈•••

 

_*Selesai… Al-Hamdulillaah…!!*_

_*Selamat Menantikan Materi Berikutnya…!!*

Demikian Faedah Ilmiyah dan Mau’izhoh Hasanah pada hari ini. Semoga bisa memberikan manfaat untuk kita semua, serta bisa sebagai acuan untuk senantiasa memperbaiki amal kita di atas sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Tidak berbicara agama dengan menggunakan Akal dan Hawa Nafsu melainkan dengan Dalil Yang Shohih sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU