Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – “Berdasarkan Pasal 9A ayat 1 point a terkait dibolehkannya dana BOS untuk pembelian layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pembelajaran dari rumah menimbulkan kecurigaan bagi kami sebagai pendidik,” ungkap Muhammad Ramli Rahim, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI).
Menurut Ramli, layanan tersebut sesungguhnya bukan hanya membuat kebutuhan biaya makin besar, karena selain harus membeli layanan pendidikan juga harus membeli kuota data tapi juga secara otomatis membuat jalinan komunikasi antara guru dengan siswanya dan sebaliknya terputus. Padahal jalinan komunikasi pengajaran dan pendidikan itu tetap bisa dilakukan di dunia maya dengan bantuan internet dan ketersediaan kuota data.
“Jadi Sesungguhnya kami mencurigai pasal 9 ayat 1 tentang pemberian layanan pendidikan daring berbayar adalah titipan dari para penyedia layanan online yang kita ketahui bersama salah satu pentolannya adalah anggota staf khusus presiden,” bebernya.
Pembelian layanan tersebut oleh sekolah, menurutnya, sangat tidak diperlukan karena yang diperlukan adalah upaya agar jalinan pendidikan dan pengajaran antara guru dan siswanya tetap terjalin begitu pula dengan siswa dan gurunya tetap terjalin.
“Bukan dengan cara membangun komunikasi dari gurunya siapa ke siswanya siapa dan dari siswanya siapa ke gurunya siapa apalagi dari satu guru untuk ratusan bahkan ribuan siswa karena proses tersebut menghilangkan sisi pendidikan dan hanya menjalankan sisi pengajaran saja,” jelasnya.
“Selain itu, inspektorat mesti mencermati sekolah-sekolah yang menggunakan dana BOS untuk pembelian layanan pendidikan ini mengingat sangat berpotensi terjadi pengaturan-pengaturan antara sekolah yang menggunakan dana BOS dengan para penyedia layanan pendidikan berbayar,” tambahnya.
“Caranya tentu saja mudah dan sudah menjadi rahasia umum,” katanya.
Sistem cashback seperti pada proses pembelian buku-buku pelajaran sekolah, kata Ramli, tentu saja tidak susah dilakukan oleh para penyedia layanan pendidikan berbayar ini, apalagi modal mereka untuk menjalankan proses itu jauh lebih murah daripada buku cetak.
“Jangan sampai terjadi di sekolah-sekolah. Mampu membeli layanan pendidikan berbayar ini, tapi justru tidak mampu membayar guru-guru honorer,” tegasnya.
“Mengingat ini adalah hubungan antar para petinggi negara maka kami meminta DPR sebagai pengawas dan KPK sebagai pencegahan korupsi untuk bisa mengawasi dan mencermati segala proses yang terjadi ini biar bagaimanapun sesungguhnya kami dari dunia pendidikan terutama guru sangat tidak membutuhkan platform pendidikan seperti ruang guru, zenius dan lainnya ini karena akhirnya anggaran yang seharusnya digunakan untuk membayar guru-guru yang selain mengajar juga mendidik bisa saja dialihkan untuk membeli layanan pendidikan berbayar,” tambahnya.
“Kami dari ikatan guru Indonesia sangat menginginkan maksimalisasi proses pembelajaran langsung dari guru dengan siswa tetap menjadi prioritas pemerintah meskipun harus melalui dunia maya dalam proses pembelajaran dalam suasana pandemi Covid-19 ini dan jangan sampai pandemi Covid-19 ini menjadikan alasan terjadinya kerjasama tidak wajar antara Kementerian Pendidikan dan para penyedia platform pendidikan,” tegasnya.
Ia tidak ingin ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dan kesulitan wabah pandemi Covid-19 ini.(FP)