In Memoriam Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi (1)

Mengoleksi Ukuran Besar Karya Hardi

Oleh Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi

Di bawah mendung langit pemakaman Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Kamis, 28/12/2023, jenazah pelukis tenar Hardi, dimakamkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Di atas gundukan tanah makamnya ditutupi bunga bernuansa warna merah dan putih.

Beberapa sahabat lama Hardi berdiri di belakang papan yang ditancapkan di makam.
Berakhirlah sudah episode kisah seorang pelukis yang handal, terampil, berani, enjoy life, penuh semangat, dan memiliki visi yang luar biasa, tetapi sekaligus baik hati. Indonesia, khususnya jagat seni rupa, kehilangan salah satu putra terbaik di bidangnya. R. Suhardi alias Hardi pada pukul 10 hari itu meninggalkan kita selamanya . Dari Pencipta kembali kepada Pencipta. Innailahirwainailahiojiun.

Kolektor lukisan Hardi terbanyak sudah dapat dipastikan dipegang oleh AZ Halim. Sepanjang pengetahuan saya, Halim, seorang pengusaha, mengoleksi sekitar 110 karya Hardi. Jauh di atas punya saya yang cuma 19 lukisan karya Hardi.

Kendati begitu, jika kita bicara kolektor lukisan Hardi yang ukurannya besar-besar, tanpa dapat mengelak, jari telunjuk tangan pastilah mengarah ke saya. Karya lukisan Hardi 3 m X 2,5 m ada beberapa di saya. Contohnya lukisan kab’ah, karya Hardi ada sekitar 60 yang sudah dihasilkan. Ukurannya macam-macam. Namun rata-rata tidak terlalu besar.

Nah, lukisan ka’bah terbesar karya Hardi ada pada saya, dan hanya ada di saya yang sebesar itu. Lukisan tersebut sudah tiga tahun ini saya pajang di ruang tamu rumah saya. Sebelumnya sempat saya simpan “di gudang.”

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Demikian juga lukisan tentang reformasi karya Hardi dalam ukuran yang sangat besar, ada pada saya. Hardi hanya melukis dua lukisan reformasi ukiran besar, dan yang terbesar ukuranya ada pada saya.

“Saya senang karya-karya ukuran besar saya ada di tangan orang yang tepat!” tandas Hardi suatu ketika, saat saya ingatkan sayalah yang memiliki karya-karya dirinya dalam ukuran yang besar.

Karya-karya Hardi, baik yang bernuansa sosial maupun yang naturalis “indah,” sejak lama sudah menarik perhatian dan hatisaya. Pada priode awal , batin Hardi bergejolak melihat ketimbangan sosial dan ketidakadilan yang terjadi. Hal ini mendorong melahirkan lukisan-lukisan bertema “protes” sosial. Ada tulang koran yang ditangkap satuan polisi pamong praja. Ada pengemis terlantar kurus kering. Ada gelandangan tidur bawah atap langit, dan sebagainya.

- Iklan -

Tentu yang paling terkenal foto diri Hardi dengan lebel presiden. Itulah kemuakan Hardi kepada sistem diktaktor saat itu. Memang ada Pemilu, namun Pemilu cuma kosmetik demokrasi saja. Sebelum Pemilu dimulai sudah diketahui siapa pemenang dan siapa pula yang bakal jadi presidennya. Hardi berontak terhadap sistem itu. Lahirlah lukisan potret diri sebagai presiden. Diri Hardi.

Lukisan itu mengusik rezim yang waktu itu berkuasa. Lukisan Hardi dipandang sebagai penghinaan terhadap penguasa. Lukisan itu bahkan dianalisis begundal-begundal zaman itu sudah masuk klasifikasi makar. Tidak ada langkah lain, Hardi harus ditahan. Ditahanlah Hardi.

Hardi beruntung, Adam Malik yang sedang ingin mencitrakan Indonesia menghargai hak asasi manusia (HAM), memita pihak keamanan waktu itu melepaskan Hardi. Selamatlah Hardi dari nasib tragis seperti para pelukis yang ditangkap dan ditahan bertahun-tahun tetapi tak pernah diadili.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Sewaktu lembaga DPR dihujat lantaran anggotanya banyak yang korup dan dinilai banyak yang tidak membawa aspirasi publik, apalagi para isteri rakyat itu pamer kemewahan di luar negeri. Hardi mengajak sesama pelukis datang ke DPR untuk melukis bersama di gedung perwakilan rakyat itu.

Lukisannya berobjek WC dan sejenis yang melambangkan kenistaan DPR. Kira-kira DPR bagaikan WC tempat semua orang membuang kotoran. Padahal waktu itu Hardi sudah melukis naturalis juga. Kepekaan sosialnya tak pernah sirna dalam situasi apapun juga.

Hardi membuktikan melukis sosial bukanlah untuk memgalihkan dari ketidakmampuan melukis “Indah.” Melukis beraroma sosial memang panggilan hatinya.
Hardi membuktikan dalam lukisan naturalisnya dia juga mampu pula menghadirkan objek-objek yang “human interest” dengan warna-warna “ngejereng” dan komposisi yang serasi dan “indah.“ Maka karya-karya Hardi jadi terlihat mencolok dan membetot-bentot hati yang melihatnya.

Dalam melukis, hebatnya Hardi sudah manpu “membaca” hasrat kolektor lukisan Indonesia seperti apa. Tanpa mengurangi kualitasnya, dia menjawab “keinginan” para konsumen lukisan Indonesia. Maka tak heran jika dari awal, setiap kali dia ikut dalam pameran bersama, selalu ada saja karya Hardi yang terjual.

Di luar pameran, karyanya juga terus dibeli orang sampai akhir hayatnya.

Bersambung……

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU