Ikut Membantu Memasarkan Karya
Oleh: Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi
Koleksi pertama karya Hardi saya, sebuah lukisan profil diri saya dari samping dalam ukuran kecil. Lukisan itu langsung dibuat Hardi di hadapan saya. Sebagian bidangnya juga kosong tak diberi tinta.
“Kamu lagi banyak pikiran,” katanya waktu membuat lukisan itu, seakan membaca pikiran saya. Mendengar itu saya cuma tersenyum saja.
Setelah itu, jika saya datang ke pameran atau ke rumahnya, Hardi seakan faham karya yang mana yang jadi incaran saya. Maka saya beruntung selalu dapat karyanya yang menarik minat saya. Sampai sekarang ada 19 karya Hardi pada saya.
Kendati begitu, hampir semua tema karya lukisan Hardi ada pada saya . Dari penari, binatang, potret diri, wanita cantik, kasih sayang ibu, kabah, hitam putih, sampai “jembatan persaudaraan” antara Mesjid Istiqal dan Gereja di sebelahnya, ada pada saya.
Ada satu lukisan, yaitu loper koran sedang memegang nama majalah tertentu sedang dikejar-kejar Kamtib, ditawarkan kepada saya. Lukisan yang bagus dan historis. Tapi lantaran nama majalahnya berada dalam group Tempo, saya tidak mengambilnya.
Hemat saya, Tempo Group atau awak dari Tempo yang lebih berhak membelinya ketimbang saya. “Coba saja Mas tawarin ke Gunawan Muhammad,” usul saya. Tapi Hardi segan melakukan hal itu, entah kenapa.
Kedua, lukisan Ayam. Harga sudah tawar-tawaran antara saya dan Hardi untuk lukisan ini. Hal ini sesuatu yang tidak biasa di antara kami. Semua lukisan karya Hardi yang ditawarkan kepada saya, berapapun yang disebut Hardi, pasti tak pernah saya tawar. Saya terima saja, berapapun harganya. Langsung saya bayar. Tapi khusus lukisan Ayam, saya justeru menawarnya. Padahal saya sendiri yang menginginkan lukisan itu.
Akhirnya di harga tengah kami setuju. Walaupun belum dibayar lunas, lukisan sudah diserah terimakan kepada saya. Pakai dipotret segala. Hanya saja karena tak enak hati kalau membawanya langsung pulang, saya belum ambil lukisan itu dan meninggalkannya di rumah Hardi.
Memang begitu kebiasaan saya dengan Hardi. Kalau lukisan belum tuntas lunas, saya tak mau mengambilnya dulu. Lukisan ayam ini pun jika nanti telah lunas baru saya ambil. Rupanya Hardi sudah lebih dahulu jatuh sakit, sehingga transaksi lukisan itu tertunda sampai Hardi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mungkin jika masa duka cita keluarga sudah lewat dan lukisannya masih jodoh dengan saya, bakal saya tuntaskan sisa “transaksinya.”
“Terima kasih Anda memgambil lukisan saya. Anda membantu saya untuk membeli beras,” kata Hardi selalu merendah saat saya membeli lukisannya.
Selain membeli sendiri saya kerap ikut membantu “memasarkan” karya-karya Hardi. Kenapa? “Anda kan banyak relasinya,” kata Hardi. Tentu tanpa komisi.
Terakhir saya gencar ikut menawarkan lukisan “jembatan persaudaraan”. Maklumlah temanya merupakan usulan saya kepada Hardi, dan langsung diterimanya. Bahkan tema ini juga menjadi lukisan serinya , walaupun belum sebanyak seri kab’ah. Saya berhasil menjual beberapa karya “jembatan persaudara” ini, terutam ke beberapa advokat kawan saya. Seiingat saya salah satu pembelinya tokoh hukum Mas Achmad Sentosa (Otta).
Saya juga membawa Hardi ke beberapa “tokoh” masyarakat agar mau dibuat lukisan potret diri oleh Hardi. Selain Hardi bergembira dengan kegiatan itu, juga lumayalan untuk mengisi pundi-pundinya.
Salah satu yang ingat saya usulkan untuk dibuat potret diri wajahnya, ketua DPR/MPR, Bambang Soesatyo. Lukisa itu langsung diserahkan Hardi ke Bambang Soesatyo.
Pada era digital Hardi sudah mulai melangkah mendahului sesama pelukis lainnya ydengan memasarkan karya-karyanya lewat media sosial. “Dari cara ini ada kontak antara lukisan saya dengan calon pembelinya,” ungkap Hardi. Dan memang sebagian besar lukisan yang ditayangkan di media sosial “terjual.”
Sebelum dia sakit, Hardi rajin menyapa para pemerhatinya melalui tayangan semacam podcast. Kolektor juga dia wawancarai, selain dia terangkan latar belakang kenapa mereka mau memiliki lukisan karya, ternasuk diri saya.
Bersambung…