In Memoriam Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi (4)

Kata Ibunya, Hardi Bakal Hidup Enak

Oleh Wina Armada Sukardi, Kolektor lukisan Hardi

Sebagaimana dengan banyak seniman besar lainnya, sebelumnya persahabatan saya dengan Hardi, tak banyak diketahui orang, termasuk para seniman dan para pelukis sendiri. Mereka tak banyak yang menyangka, Hardi yang mereka nilai sering temparemental dan pelukis yang selalu bicara apa adanya dapat, bersahabat dengan saya, seorang wartawan hukum dan kebudayaa serta seorang advokat yang terkesan “serius.” Manalah mungkin dua kepribadian semacam itu dapat bersatu, demikian pikir banyak orang.

Lantaran saya banyak bersahabat dengan seniman-seniman tulen yang tenar, bukan seniman “abal-abal” yang cuma berpakian asal “dekil and the kumel,” tapi tanpa karya berarti, saya menjadi faham bagaimana menghadapinya. Dari dunia seni rupa saya antara lain, bersahabat dengan Nyoman Gunarsa dan Kriyono almarhum, sekedar menyebut dua contoh nama. Dari pengalaman itu saya mengerti kapan harus mendengarkan mereka. Kapan untuk memuji mereka, tapi juga kapan harus mengeritik dan mencela mereka tanpa mereka sakit hati, tetapi mereka mengetahui apa yang kita pikiran dan rasakan.

Demikian juga persahabatan sayabdengan Hardi. Saya dapat “menempatkan” diri dalam berinteraksi dengannya. Tapi ini tak berarti penuh basa-basi. Hardi tetaplah seniman yang blak-blakan. Kalau dia pandang tak sesuai dengan pikirannya, dia tetap mnecelanya. Termasuk ke saya. Bahasanya pun umumnya lugas. Tegas.

Menyadari ada niat baik di belakang ucapan-ucapan Hardi, selalu saya maklum. Tak ada rasa sakit hati.

Sebaliknya saya juga berlaku begitu. Sering membantah pendapatnya dengan pernyataan yang keras. Walhasil kami kerap berdebat dengan argumentasi terbuka. Sepanjang saya tahu, “debat” kami pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama.

Sedemikian dekat hubungan kami, Hardi sering mengusulkan ke panitia panitia pameran lukisan agar saya yang membuka pameran lukisan, baik Hardi ikut berpameran atau pun tidak ikut.

Persabahata saya dengan Hardi sudah berjalan panjang. Sekitar tahun 1976 saya mulai sering main ke Radio ARH yang terletak tak jauh dari pintu masuk TIM waktu itu. Saya kesana untuk berlatih teater, namanya dulu Teater Bengkel Belia ARH, di bawah asuhan Arthur John Horoni. Selain itu untuk membentuk komunitas pendengar Radio ARH, satu-satunya radio pendidikan di Jakarta sampai sekarang. Pendengar Radio ARH menyasar kalangan menengah bawah, yang memang haus pendidikan tetapi mungkin sulit menembus universitas. Segmen ini berbanding terbalik dengan Radio Prambos yang waktu itu juga terkenal, mengarah kepada segmen menemgah atas.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Radio ARH dikenal kritis terhadap hampir semua aspek kehidupan dan penghidupan berbangsa dan bernegara. ARH merupakan salah satu radio pengeritik pemerintah yang keras. Bukan hanya politik yang dkritisi Radio ARH, tapi juga aspek-asoek kebudayaan terutama musik dan astra.

- Iklan -

Saya sendiri di usia yang sangat muda, diberi kepercayaan mengasuh acara “Ilmu-ilmu Sosial.” Rubrik itu selain saya tampilkan dalam bentuk narasi, juga dalam ragam dialog, drama dan tanya jawab.

Sikap Radio ARH yang kritis rupanya sejalan dengan sikap Hardi. Dia pun lantas sering main ke ARH kalo kebetulan ke TIM.

Dari sana Hardi mulai bergaul dengan kami.

Waktu ARH menerbitkan kumpulan “Puisi Tempe” covernya dilerjakan oleh Hardi. Sebelum meninggal Hardi pula yang mengerjalan disain buku kumpulan lima

Penyair (Muwardi Muchtar, Eka Budianta, Heryus Saputro, Wina Armada Sukardi dan Arthu John Horoni) yang bakal segera menerbitkan buku “Puisi Tempe”jilid 2. d

Jika sebelumnya Hardi memilih disain hitam putih, kali ini covernya full color.

Selanjutnya kami sering berinteraksi. Kami banyak “ngopi-ngopi “ di mall, tidak di warung-waring sederhana. Katanya Hardi, “Pelukis sekarang, banyak yang tidak sadar zaman udah berubah. Mereka kurang bergaul di tempat-tempat yang sesuai zaman. Makanya pelukis sekarang sering pengalaman dan pikirannya masih sama dengan pelukis tahun 30an sampai 60an. Makanya kalau melukis sesuatu yang terkait suasana modern, banyak dari mereka yang jelas kelihatan gagal.”

Atas dasar itu, Hardi berpendapat, para pelukis harus lebih sering ke mall. Selain untuk menyesuaikan diri demgan deru suasana jiwa yang modern atau sesuai zaman, juga dengan demikian dapat memiliki koneksi kaum berduit calon-calon konsumen!

Ada satu tempat di suatu sudut dis ebuah mall yang menjadi tempat favorit Hardi. Ini lantaran dari tempat itu kita dapat memandang ke semua sudut. Mereka yang berlalu lalang dari arah depan atau belakang, terpantu mata. Belakangan tempat yang ada di sebuah kafe itu, ditutup, sehingga Hardi tak lagi dapat duduk disana.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Sekali-kali saya juga mengajak Hardi “dugem.” Misalnya ke diskotik atau karoke, tempat yang tata nilainya berbeda dengan di dunia nyata. Disana serba permisif. Awalnya Hardi masih canggung, tapi setelah bebrrapa kali keNa dia cepat beradaptasi.

“Pergaulan Anda luar biasa, dari kampus, seniman sampai hiburan malam faham….,” kata Hardi, entah sesungguhnya atau ingin menyindir saya. Tapi kami hanya tertawa-tawa

Sekali-kali saya suka iseng mengirim WA kepada Hardi foto-foto wanita dengan pakian seronok. Hardi biasanya menanggapnya dengan tersenyum. “Nakal juga ya!” jawabnya.

Pada umumnya saya lah yang menjadi “badar” alias yang bayar makan minumnya kalo kami keluar makan, karena memang sayalah yang serin mengajaknya. Kalau pun dia yang mengajak, tetap saya wajib “tahu diri” membayarnya.

Walaupun demikian, sekali-kali Hardi ikut membayar. “Udah ndak usah khawatir, biar saya yang bayar!” katanya dengan wajah ceria.

Ada apa rupanya? “Saya lagi banyak duit! Hahaha…”ungkap Hardi dengan bangga. Kalau sudah begitu, saya faham, Hardi tidak mungkin dicegah. Maka saya biarkan saja.

Berkali-kali Hardi bercerita, manakala kecil ibunya bercerita Hardi bakal melakoni pekerjaaan yang enak. Hidupnya nyaman. Pekerjaaan akan sesuai dengan kepuasasan hati nurani Hardi, tetapi dapat uang.

Mulanya Hardi mengaku tak faham apa maksud ibunya. “Ternyata yang dimaksud Ibu saya, ya jadi pelukis ini,” beber Hardi.

Jadi pelukis bekerja sesuai hati nurani Hardi, sekaligus menghasilkan uang. “Dari awal rupanya ibu saya sudah mengetahui saya bakal jadi pelukis.”tandasnya.

Hardi juga sering bercerita, bagaimana pun kehidupan dan penghidupannya harus disyukuri. Dia membandingkan kehidupan dan penghidupan dirinya dengan seorang penyair terkenal yang juga teman dekatnnya dan suda agak lam meninggal. Dia bercerita teman sang penyair beken dekatnya itu relatif sulit dalam kehidupannya. Rumah tangganya berantakan. Anak-anaknya mengalami kesulitan ekonomi. Sekolahnya juga kucar-kacir. “Jadi, begini-begini juga, saya alhamdullilah hidup saya cukup baik, “ ungkapnya.

Bersambung……

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU