In Memoriam Tujuh Hari Wafatnya Pelukis Hardi (5 – terakhir)

Akhirnya Bersedia Bersimpuh di Hadapan yang Maha Kuasa

Oleh Wina Armada Sukardi, Kolektor Lukisan Hardi

Tiga bulan sebelum Hardi jatuh sakit, saya masih sempat datang ke rumahnya. Dia bercerita, sedang mempersiapkan penerbitan buku soal kris yang kedua. “Koleksi keris kakak Anda yang langka-langka itu, nanti dapat dibuat di buku itu,” terangnya. Kedua kakak saya memang kokektor keris. Saya cuma tersenyum saja.

Sewaktu saya pulang Hardi memeberikan sebungkus keju berwarna. Rupanya kakak atau adiknya dari Belanda membawa keju itu.”Ini saudara saya bawa keju dari Belanda,” kata pelukis Hardi.“Saya tahu, Anda orang kaya, tapi ini dari saudara saya yang bawa dari Belanda. Enak,” tambahnya.

Sambil tersenyum, saya menerima keju itu. Saya sangat faham, pemberian keju tersebut bukan sekedar pemberian biasa, tapi merupakan simbol persahabatan antara saya dan Hardi. Begitu pula pemberiaan itu merupakan perwakilan hati Hardi yang baik. Jadi, bukan sekedar kejunya belaka.

Jika saya menolak pemberian itu, pastinya hati Hardi bakal terluka. Niat dia baik. Berbagi rasa. Maka saya menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih kepadanya. Saya bawa pulang keju ke rumah.

Kesehatan Hardi mulai langsung melorot setelah Susan, isterinya meninggal. Sepeninggalan isterinya Hardi bagaikan layang-layang putus. Meski sering melukis wanita cantik, dan bahkan tak jarang nude pula, tapi semua itu tak dapat menghilangkan kenyataaan hatinya hanya untuk sang isteri, Susan. Tak ada yang mampu menggantikan Susan di hati Hardi.

“Ternyata saya cinta banget lho ke isteri saya, Mas Wina, ” ujarnya kepada saya dengan nada melakonis. Tak sekali dia bilang begitu. Berkali-kali dalam berbagai kesempatan.

“Ya iyalah,” jawab saya menghiburnya. Pada saat-saat seperti itu, Hardi saya lihat sudah sering tercenung. Matanya yang dulu garang seperti kehilangan sebagian jiwanya.

Kepergian Susan memang membuat Hardi limbung. Susanlah selama ini yang mendampingi dalam suka dan duka. Susan sebagai isteri tidak pernah mengeluh terhadap profesi dan tabiat Hardi. Susan wanita Batak yang tabah dan mampu menjadi tumpuan jiwa Hardi. Dia selalu dan selalu mengerti Hardi. Susan selalu memaklumi Hardi. Susanlah wanita yang paling faham siapa sejatinya Hardi luar dalam.

- Iklan -
Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

“Dari saya kenal dan pacaran, dia orang memang udah begitu,” kata Susan kepada saya dan Hardi manakala kami berbincang-bingang santai. Waktu itu saya “pancing” Susan apa gak cemburu kepada Hardi yang sering melukis wanita cantik dan sering melontarkan kritik kepada siapapun. Mendengar jawaban isterinya, Hardi cuma tersenyum-senyum.

Ketika Susan sakit, dan sehari-hari harus duduk di kursi roda, Hardi masih belum terpengaruh. Paling Hardi menjadi lebih getol mencari uang untuk ikut membiayai pengobatan Susan. Selebihnya masih biasa-biasa saja. Perkaranya, apapun yang terjadi, sang isteri masih ada disisinya. Hardi masih dapat melihatnya secara nyata. Sesuatu yang sangat penting bagi Hardi. Selama isterinya masih ada di sampingnya, dalam keadaan bagaimanapun, Hardi masih tenang. Masih ada enegeri dari isterinya.

Maka tatkala Susan wafat, jiwa Hardi serasa remuk redam. Sebagian dari jiwanya sendiri seperti ikut melayang.

Tanpa sadar Hardi mulai berubah. Nafsu makanny sedikit demi sedikit berkurang, sampai kehilangan selera sama sekali.

Perlahan-lahan kesehatan memburuk. Jago silat ini mulai kehilangan banyak tenaga. Energiny seperti telah terkuras. Dan akhirnya dia pun jatuh dari tangga di rumahnya.

Sejak itu praktis Hardi kehilangan dirinya sendiri. Dia mulai dihinggapi dimensia, penyakit mudah lupa, sehingga sulit mengenali kawan-kawan dekatnya sendiri. Tubuhnya juga mulai susut. Makanya meski saya termasuk orang yang sejak awal mengetahui Hardi sakit, saya sebelumnnya tak pernah memberitakannya, apalagi memasang foto setelah sakit.

Pertama, pada awalnya itu memang permintaan keluarganya, sakitnya Hardi jangan banyak diekspos, agar tidak terlalu banyak yang bezok. Kedua, memang menurut saya memasang foto Hardi sedang sakit agak kurang etis.

Meski sedang sakit Hardi, selalu berupaya tetap teraenyum kepada tamu yang membezuknya. Padahal dia sudah tak lagi faham siapa yang dihadapannya.

Ilhwal profil pelukis kelahira Blitar 26 Mei 1951 dengan pendidikka Jan Van Eyck Academie dan ASRI itu telah banyak diungkap orang dan dapat ditelusuri jejaknya di media digital. Jadi, disini tak perlu saya mengulang-ulang kembali.

Baca Juga:  Catatan Ilham Bintang: Kang Farid Telah Tiada

Satu hal yang jelas, Hardi seorang yang pemberani. Siapapun yang dinilainya keliru, bakal blak-blakan dikritik atau diserangnya. Dia hampir tidak pernah memikirkan siapa pihak yang diserang, karena Hardi memang tidak takut kepada siapa-siapa. Dia orang yang blak-blakan.

Hardi juga seorang yang peka terhadap ketidakadilan. Dia segera sewot luar biasa terhadap ketidakadilan sosial. Dia berani meneriakan siapapun yang dipandangnya berbuat zholim dan berkianat. Oleh sebab itu dulu dia membuat kartu pos dengan gambar karyaya memaparkan kemiskinan masyarakat dan ketidakadilan sosial.

Sikap anti melawan ketidakadilan juga diterapkan kepada dirinya sendiri. Kalau ada panitia pameran lukisan tidak jujur, termasuk soal harga dan pembagian keuntungan atau pembayaran yang tidak beres, pastin disemprotnya habis-habisa!. Selain Hardi yang bercerita soal ini, saya pun kerapa mengetahuinya sendiri.

Watak dan sikap seperti itu membuat Hardi bagi sebagian orang dikenal sebagai pelukis yang “begal.” Kalo dalam benaknya tidak masuk akal, dia dipandang menjadi sulit diatur. Dia bagaikan singa yang siap menggaum.

Tetapi sejatinya di balik penampilannya, Hardi ialah seorang yag berhati lembut. Jika mengetahui ada sesuatu yang menyebabkan seseorang tertimpa ketidakadilan, Hardi mudah tersentuh. Beberapa kawan dekatnya sering dibantu diberikan duit, dan dia tak pernah ngomong kemana-mana soal pemberian itu, kecuali kepada satu dua sahabat karibnya seperti saya.

Para wartawan atau orang yang mewawancarainya tak jarang diberikan lukisan karyanya begitu saja. Dia faham benar banyak yang ingin memikiki karyanya tetapi kantungnya tidak cukup. Dengan ikhlas Hardi sering memberi karyanya kepada mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir sebelum wafat Hardi juga menjadi rajin sholat, sesuatu yang dahulu seperti tak mungkin dilakukan Hardi. Rupanya Hardi mendapat semacam hiday, akhirnya semua kembali kepada Pencipta. Hardi di hari tuanya bersedia bersimpuh di hadapan kebebasaran Tuhannya.

Dari dunia fana ini, saya mengulurkan tangan kepada Hardi sahabatku: Jabat erat, Mas Hardi.***

S e l e s a i

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU